Oleh : Fran Fardariko
JAKARTA, MEDIAJAKARTA.COM – Dalam bidang ilmu sosiologi ada proyeksi teori yang di namakan “perubahan budaya terarah”. Perubahan budaya terarah adalah ketika satu budaya mencoba mengubah budaya lain, baik dengan niat baik atau dengan paksaan. Dalam hal ini saya mau menukil dan menjabarkan salah satu kasus yang sedang bergema di national maupun internasional, “pop culture/budaya pop.” Pergerakan dan pengaruh dari budaya pop ini sudah tidak dapat lagi di pandang sebelah mata. Kenapa? Karena, di angka populasi yang signifikan sekarang ini, anak-anak muda sudah mengalami perubahan budaya satu arah tersebut, khusus nya yang di serang-budaya Nusantara Indonesia.
Berawal dari pergerakan budaya Hip Hop, semua ini dapat kita ulas. Bukan hanya gaya berpakaian, namun mereka memiliki indentitas sendiri dalam bergaya, yang di kenal dengan gaya “Swag/budaya Hip Hop.” Mereka punya tata cara berkomunikasi, bernyanyi dengan kecepatan prasa kosa kata, mengkritik dengan lirik-lirik pedas kepada otoritas dan ketimpangan sosial, terlepas kemudian mengarah kepada hedonisme dengan tampilan kendaraan dan perhiasan berharga miliaran rupiah.
Sering kaliJet-jet pribadi yang sering di tampilkan. Sadar atau tidak sadar, budaya baru ini di terima hampir di seluruh kalangan pelbagai negara, khusus nya di negara-negara barat, Asia, Afrika dan bahkan Timur Tengah.
Bahkan budaya swagging nya Hip Hop ini masuk bagaikan virus merebak di kalangan anak-anak muda Asia, khususnya Korea Selatan. Korea Selatan sebelumnya tidak pernah di kenal sisi pemberontak nya, mereka budaya yang sangat menghargai “Asian value” atau nilai-nilai Asia: patuh dan setia kepada otoritas termasuk kepada perusahaan tempat mereka bernaung untuk menafkahi keluarga. Sebelum nya mereka pengagum erat budaya berpakaian timur asia, dengan ornamen etika dan kesopanan. Tapi sekarang generasi muda Korea Selatan berubah drastis. Generasi muda Korea Selatan lebih bebas, mandiri, bersaing ketat, gaya “American Swagging” nya lebih terasa, bercampur dengan gaya Gangnam (daerah tempat tinggal para borjuis Seoul), dari daerah ini lah terinsipirasi kemunculan budaya K-Pop, perpaduan American Hip Hop dan budaya pop Seoul, Korea Selatan.
Kalau gaya “Swagging Hip Hop” di balut dengan pembawaan para gangster yang pemberani, ekspesif dan pemberontak. Di sisi yang lain K – Pop melahirkan bentuk gaya gangster yang cenderung feminis, bersih, hedonis, pemberontak, dan pop ikon nya cenderung terlihat seperti “Asian Barbie” di balut dengan gaya “Swagging nya. ” Mereka mengeluarkan hits lagu dari kiblat K-Pop Seoul, yang tak tanggung-tanggung fenomena globalnya. Banyak generasi di tahun lahir 70an hingga 2000an terhipnotis dengan dentuman musik dan lirik yang mereka sampaikan. Anak-anak muda terkagum-kagum dan cenderung histeria melihat kecantikan dan gantengnya para artis K-Pop.
K-Pop menjadi magnit global, tiket konser para artisnya sering kali terjual habis dengan harga fantastis, berkisaran 2 hingga 4 juta rupiah per tiket show. Makanan Korea Selatan yang mereka endorse laku keras terjual, sementara iklan makanan dari Indonesia yang memakai artis K-Pop hanya mie instan. Seperti negara-negara lain, Indonesia sulit membendung serangan masuk budaya K-Pop ini. Mereka semakin menjadi-jadi dengan gaya potongan rambutnya, gaya artis-artis pria yang feminin menampilkan perombakan wajah yang cenderung di bawah prosedur operasi plastik. Dan para remaja-remaja urban Indonesia level ekonomi menengah ke atas cenderung terdampak virus “tak percaya diri” ini, dari bedah plastik alat-alat organ yang sensitif hingga perombakan muka.
Pertanyaan saya sebagai independent analisis, adakah fenomena budaya K-Pop ini memiliki misi serangan? Sebuah program yang memang khusus di bentuk sebagai alat serang satu arah, dalam bentuk runtuhnya ketahan satu budaya? Kalau memang iya, institusi/agency apa yang menaungi program Hip Hop dan K-Pop ini. Perlukah kementerian pertahanan atau negara RI memfokuskan ulang penanaman budaya Nusantara Indonesia kepada generasi milineal, Z dan Y?
Kalau memang K-Pop ini adalah sebuah serangan budaya dari luar, selayaknya kementerian pertahanan membaca tendensi balutan agency ini! Jangan sampai budaya membatik, wayang Nusantara dan tarian-tarian khas suku daerah Indonesia di anggap barang usang dan memalukan untuk kalangan generasi milineal, X dan Z. Jangan sampai mereka mencemoohkan apa yang nenek moyang mereka adabkan sebelumnya. Dan jangan sampai perihal budaya baru dengan wajah plastik yang baru ini menjadi tensi depresi di kalangan orang tua, dan bahkan menjadi konflik kecemburuan sosial antara “the have, and the have not.” Sekarang kita lihat banyak sekali kalangan muda-mudi bergaya K-Pop, bersepatu dan tas mewah, posting gambar di depan jet dan mobil mewah seolah-olah Ibu Pertiwi sedang baik-baik saja. Seharusnya negara, Kementerian Pertahanan, dan kita semua harus perhatikan detail usaha budaya yang sedang merangsek masuk ini, K-Pop? ()
Fran Fardariko – Independent Analis Pertahanan, Strategi, Konflik, dan Public Policy. Alumnus Victoria University, Wellington, New Zealand