JAKARTA, MEDIAJAKARTA.COM- Sejumlah peserta aksi yang tergabung dalam Ibu-ibu PRT (Pekerja Rumah Tangga) menggelar aksi di Taman Aspirasi Monumen Nasional, Jakarta pada Rabu (21/12). Aksi tersebut sebagai bentuk desakan agar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) segera ditetapkan menjadi undang-undang.
Komisioner Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini yang hadir pada aksi tersebut mengatakan bahwa aturan tersebut diperlukan untuk melindungi pekerja rumah tangga (PRT) serta menjamin hak mereka sebagai pekerja.
“Ini adalah kerja dari Koalisi Sipil untuk RUU PPRT untuk mendorong pemerintah dan juga parlemen untuk segera mengesahkan RUU PPRT yang sudah mangkrak lebih kurang 20 tahun,” ungkap Theresia.
Kehadiran UU khusus PRT, menurut Theresia, sangat diperlukan karena menjadi ruang bagi masyarakat untuk mendorong hadirnya perlindungan terhadap pekerja rumah tangga, sehingga kedudukan mereka menjadi setara dengan pekerja sektor lainnya.
Lebih jauh, Theresia mengatakan bahwa aksi tersebut sekaligus dalam rangka menyambut Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember. “Ini sebagai agenda untuk menyongsong hari gerakan perempuan nasional yang selalu diperingati pada 22 Desember,” terangnya.
Selain di Jakarta, kegiatan serupa juga dilakukan serentak di berbagai daerah di Indonesia. Sejumlah aksi digelar di Jember (Jawa Timur), Tangerang, Medan, Yogyakarta dan Semarang.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk keprihatinan terhadap maraknya kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh PRT. Komnas Perempuan mencatat aduan yang masuk sejak tahun 2012 hingga 2019 cukup banyak.
“Dalam kurun waktu 2012 – 2019, jumlahya sekitar 4000-an kasus,” ungkap Theresia.
Bahkan, Jala PRT sebagai salah satu organisasi yang khusus memberikan perhatian terhadap PRT juga mencatat data yang hampir sama. “Itu memperlihatkan bahwa situasi kekerasan terhadap PRT masih terus berlanjut,” tegasnya.
Beberapa waktu yang lalu, menurut Theresia, Komnas Perempuan sempat menerima aduan terkait kekerasan yang dialami PRT. “Kasusnya sebenarnya lebih kepada penyiksaan,” ujarnya.
Fakta itu menunjukkan bahwa ketiadaan perlindungan melalui undang-undang turut memperparah situasi PRT yang terus menerus mengalami kekerasan. “Ini juga menjadi salah satu hal yang perlu kita cermati bersama,” katanya.
Selanjutnya, Theresia berharap agar Presiden Joko Widodo mendorong disahkannya RUU PRT oleh parlemen. Itu sebabnya, pimpinan DPR harus mendengar keluhan masyarakat.
“Kepada pak Jokowi kami berharap RUU PPRT segara disahkan dan tekanan paling besar ditujukan kepada DPR, dalam hal ini Ibu Puan Maharani,” ujarnya. Selanjutnya, RUU Perlindungan PRT akan menjadi inisiatif DPR.
Saat ini, menurut Theresia, keberadaan RUU PPRT masih terganjal di Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Untuk itu, pimpinan DPR hendaknya bersikap, sehingga RUU Perlindungan PRT menjadi RUU inisiatif DPR.
“Bamus merupakan ruang (channel) bagi RUU PPRT untuk segera disahkan, apabila di paripurna kan,” jelasnya.
Theresia menambahkan, “Dalam konteks pembahasan RUU, ini harus masuk dulu di paripurna, disahkan menjadi RUU inisiatif, kemudian dilakukan pembahasan dan menerima aspirasi dari elemen masyarakat dan juga pemerintah.”
Wakil Menteri Hukum dan Ham (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menurut Theresia sangat mendukung pembahasan RUU PPRT. Setidaknya hanya dibutuhkan waktu 2 minggu agar pembahasan bisa segera dilakukan, utamanya ketika RUU telah menjadi inisiatif DPR.
“Kalau pemerintah sendiri menyatakan dalam pertemuan hari ini dengan Komnas Perempuan melalui Prof. Edi Wamenkumham, seharusnya sekitar 2 minggu,” katanya.
Dengan demikian, political will atau kehendak politik dari parlemen sangat dinantikan. Pasalnya, pemerintah dan masyarakat sipil telah mencapai kesepahaman tentang pentingnya perlindungan bagi PRT.
“Apabila parlemen memberikan ruang yang besar agar RUU PPRT segera dibahas, maka RUU ini segera dapat disahkan menjadi UU Perlindungan PRT. Karena itu, gongnya ada di DPR,” ungkapnya.
Ketika RUU PPRT belum diketuk palu, Theresia mengingatkan tentang pentingnya berserikat bagi para PRT sebagai syarat minimum perlindungan. Hanya dengan berserikat dan berhimpun, jaminan keamanan dan keselamatan bisa diraih.
Tak hanya itu, dia juga memastikan adanya dorongan terhadap aparat penegak hukum termasuk kepolisian agar memberi perlindungan hukum terhadap PRT, khususnya yang mengalami kekerasan.
“Jika para PRT berserikat dan berkumpul, itu juga menjadi ruang untuk saling bertukar cerita, saling menguatkan dan saling mendorong agar selalu kuat dalam proses advokasi ini,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)