JAKARTA, MEDIAJAKARTA.COM – Sekjen Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) Yuli Supriati menjelaskan bahwa gizi buruk terjadi, salah satunya akibat faktor ekonomi atau kesejahteraan masyarakat yang masih rendah.
Selain itu, minimnya edukasi atau pemahaman masyarakat terkait pentingnya mencukupi kebutuhan gizi anak terutama di masa seribu HPK (Hari Pertama Kelahiran) turut andil memperburuk keadaan.
Fakta di lapangan juga mengejutkan. Yuli menemukan bahwa laporan kasus stunting di dinas kesehatan di beberapa daerah seringkali tidak sesuai dengan kenyataan. Temuan KOPMAS di Kecamatan Stabat, Langkat, Sumatera Utara, hampir 70% anak di sana mengalami gizi buruk, mengarah ke stunting.
“Namun, Kepala Dinas Kesehatan Langkat mengeklaim daerah mereka tidak ada kasus stunting atau zero stunting, zero gizi buruk,” ungkap Yuli pada Workshop Kesehatan “Menganalisis Tren Stunting dan Persoalan Sistematis Gizi Buruk”, Kamis, (4/8).
Yuli menambahkan, “Data hanya sebatas angka dan tidak akurat dengan kondisi lapangan, sehingga tidak ada penanganan berkelanjutan.”
Yuli juga menyoroti langkah pemerintah menangani stunting yang harus dilakukan secara terpadu dan sistematis. Selain pencegahan stunting oleh masyarakat, pemerintah harus bersinergi dalam upaya mengambil langkah strategis agar angka prevalensi stunting menurun.
“Pencegahan dari masyarakat harus dilakukan. Namun, saat bicara anak stunting, maka satu-satunya yang diperlukan adalah intervensi, campur tangan pemerintah, dan medis dalam memastikan anak mendapat booster gizi yang cukup”, tegasnya
Di sisi lain, pemenuhan asupan gizi yang optimal juga harus tepat pada peruntukannya. Penanganan khusus terhadap anak stunting perlu melihat kebutuhan dasar nutrisinya yang disesuaikan dengan kondisi sistem metabolismenya.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) Piprim Basarah Yanuarso. Menurutnya, masyarakat perlu membedakan kebutuhan asupan protein dan kalori pada anak. Ia juga menekankan pentingnya Asam Amino Esensial, sebagai salah satu asupan penting yang harus dikonsumsi anak stunting.
“Protein hewani yang harus ditingkatkan”, jelas Piprim.
Lebih lanjut, Piprim menegaskan bahwa kampanye media tentang ASI Eksklusif juga penting digaungkan sebagai salah satu langkah pencegahan stunting, sehingga masyarakat dapat mengurangi konsumsi produk krim kental manis sebagai penunjang gizi praktis bagi anak.
“Terlebih kandungan krim kental manis dalam High Glycemik Index Food (kandungan indeks glukosa) berdampak pada obesitas atau kardiometabolik yang menyebabkan anak berpotensi stunting,” ujarnya.
Sekretariat Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menanggapi perbedaan antara temuan KOPMAS terkait perbedaan kasus stunting di lapangan dan laporan Dinas Kesehatan.
Nadia mengatakan, Kementerian Kesehatan mencoba memperkuat sisi pencatatan dengan sistem surveilans gizi melalui E-PPGBM (Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).
“Beberapa wilayah memang mengalami disparitas prevalensi stunting yang tinggi terdapat di tujuh daerah di Indonesia, yaitu NTT, Sulawesi Barat, Aceh, NTB, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat,” ungkapnya.
Terhadap wilayah-wilayah tersebut, Nadia menegaskan, pemerintah secara aktif melakukan sweeping dan memonitor kasus melalui posyandu dengan cara penguatan sistem surveilans gizi, pelaksanaan audit stunting, dan intervensi stunting dengan kebijakan pengelolaan gizi buruk yang terintegrasi.
Ini membuktikan bahwa persoalan gizi buruk dan stunting pada anak menjadi isu nasional yang penanganannya perlu dilakukan secara berkelanjutan. Pemerintah sendiri telah menargetkan angka pravelensi stunting sebesar 14% pada tahun 2024. (Jekson Simanjuntak)