JAKARTA, MEDIA JAKARTA.COM – Sejumlah masjid bersejarah dari peradapan Islam di sejumlah negara menyedot perhatian prodi Arsitektur Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) untuk dilakukan eksplorasi. Seperti keberadaan Masjid Xi’an, Masjid DjinguereBer, Benteng Merah Agra, Benteng Salahuddin, dan Observatorium Ulugh Beg. Masjid-masjid tersebut, selain menarik dari sisi arsitekturnya, juga memiliki sejarah yang cukup panjang, sebagai saksi dakwah dan penyebaran Islam di negeri tersebut.
Eksplorasi ini diluncurkan dalam serial seminar mahasiswa bertema, Eksplorasi Arsitektur Peradaban Islam.
Edisi perdana seminar ini dilaksanakan secara daring pada Rabu 27 Juli 2022.
Ketua panitia seminar Anisa menjelaskan, dalam kegiatan ini menampilkan lima kelompok yang membahas lima obyek arsitektur peninggalan peradaban Islam di dunia.
“Tercatat dalam pembahasan tersebut adalah Masjid Xi’an, Masjid DjinguereBer, Benteng Merah Agra, Benteng Salahuddin, dan Observatorium Ulugh Beg,” ujar Anisa.
Anisa menjelaskan, paparan ini merupakan hasil eksplorasi mahasiswa yang dibimbing oleh para dosen pengampu dan didiskusikan bersama di kelas. Salah satu tujuan menyelenggarakan seminar mahasiswa ini adalah sebagai upaya pelatihan bagi mahasiswa untuk melakukan studi eksplorasi dan menjelaskannya dalam presentasi.
“Dalam seminar ini mahasiswa akan mendapatkan masukan dari dua dosen pembahas sebagai upaya perbaikan,” ujar Anisa.
Kegiatan ini, kata Anisa, baru diluncurkan dan direncanakan akan diselenggarakan satu kali pertahun. Pada tahun ini sebagai awalan tema seminar mahasiswa adalah eksplorasi arsitektur peradaban Islam. Sementara pada tahun-tahun mendatang direncanakan untuk pembahasan akan difokuskan pada daerah tertentu. Misalnya arsitektur peradaban Islam di Andalusia, maupun di tempat lainnya.
Lebih lanjut Anisa menjelaskan, masjid yang dibahas pada seminar ini adalah masjid Xi’an di China dan Masjid DjinguereBer di Afrika. Masjid Xi’an merupakan sebuah karya arsitektur dan merupakan peninggalan unik, karena eksteriornya ber-arsitektur China.
Sedangkan pada interiornya terdapat perpaduan antara arsitektur China dengan kaligrafi. Sementara bangunan menara pada arsitektur Islam di masjid ini berbentuk pagoda. Pada sisi lain, tata massa bangunannya menggunakan konsep arsitektur China.
Hal unik lainnya dapat dilihat pada masjid DjinguereBer, yang dari segi kesejarahan ada kaitannya dengan Mansa Musa, seorang raja Mali yang tercatat dalam sejarah melakukan ibadah haji dengan berjalan membawa rombongan umat muslim dari daerah tersebut.
Bentuk masjid Djinguereber khas Afrika ini dengan material lokal berupa tanah liat dan lumpur menjadi dinding bangunan. Selain itu, dapat dilihat terdapat kayu-kayu yang ditancapkan tegak lurus sebagai perkuatan dan juga estetika.
“Dari dua masjid ini dijelaskan juga bahwa keduanya tidak menggunakan pola hypostyle sebagaimana umumnya masjid-masjid yang ada di jazirah arab dan sekitarnya,” ujarnya.
Anisa menambahkan, dua benteng yang dipresentasikan dalam seminar ini adalah Benteng Merah Agra dan Benteng Salahuddin. Benteng merah Agra berkaitan dengan Dinasti Mughal, yang didalamnya terdapat beberapa bangunan antara lain istana, masjid dan markas militer. Begitupula dalam benteng Salahuddin, di dalamnya tidak hanya terdapat istana melainkan juga terdapat museum dan empat buah masjid.
“Karena benteng-benteng ini tidak hanya berfungsi sebagai pertahanan saja melainkan juga sebagai kediaman,” ujarnya.
Bangunan lain yang dibahas adalah Observatorium Ulugh Beg, sebagai salah satu observatorim peninggalan peradaban Islam. Observatorium ini terletak di Uzbekistan. Kecintaan Ulugh Beg pada ilmu pengetahuan inilah yang melatarbelakangi pembangunan Observatorium. Bentuk asli observatorium ini adalah silinder, dengan ketinggian setara tiga lantai.
“Observatorium ini penting artinya bagi muslim, karena tidak hanya untuk menyingkap fenomena langit tetapi juga digunakan untuk menentukan waktu sholat,” ujarnya.
Karena itulah, kata Anisa, nama Ulugh Beg diabadikan menjadi nama observatorium, sebagai bentuk kecintaannya pada ilmu astronomi.
Dalam sejarah Islam tercatat astronomi merupakan bidang ilmu yang berkembang pesat pada masa kejayaan Islam. Terdapat nama-nama astronom muslim, antara lain Ghiyas Al Din Jamshid, Nasiruddin Al Tusi, Al Biruni, Al Battani dan masih banyak lainnya.
Seperti Nasiruddin Al Tusi berjasa dalam membangun observatorium Maragha yang merupakan pusat penelitian fenomena langit yang juga dilengkapi dengan perpustakaaan 400 ribu judul. Di Istambul pada masa Turki Utsmani dikenal Observatorium Istambul yang didanai oleh kesultanan Turki Utsmani dan dikelola oleh Taqi Al Din seorang astronom dan ilmuwan serba bisa.
Dalam paparannya Anisa juga menjelaskan, usai mahasiswa mempresentasikan obyek arsitektural tersebut, maka diskusi dilakukan bersama dengan dua pembahas, yaitu Dr. Ashadi, M.Si, CIQaR, CIQnR dan Anisa, ST, MT, CIQaR, CIQnR.
Dosen pembahas memberikan masukan sesuai dengan bidang keilmuan di Prodi Arsitektur UMJ.
Pembahas menekankan tentang pentingnya mencantumkan sumber dalam pengambilan data sekunder secara benar, dan kedalaman analisis pada eksplorasi yang dilakukan.
“Mahasiswa harus bisa mengkaitkan eksplorasi ini dengan keilmuan arsitektur yang sedang dipelajari. Dan kegiatan ini, terbuka untuk umum, tidak hanya dari akademisi saja melainkan juga masyarakat umum. Diharapkan hasil eksplorasi mahasiswa ini dapat memberikan kontribusi tidak hanya bagi keilmuan arsitektur namun juga dapat berkontribusi pada desain karya arsitektural,” pungkas Anisa.(jay)