JAKARTA, MEDIAJAKARTA.COM — Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito menyerukan kepada pemerintah untuk menghentikan pelabelan hoaks peristiwa di Wadas yang sewenang-wenang dan berdasarkan klaim yang dianggap sesuai dengan narasi yang diharapkan aparat.
Jaringan Pengecekan Fakta Internasional mengharuskan adanya prinsip-prinsip seperti komitmen nonpartisan dan keadilan, komitmen transparansi atas sumber, transparansi metodologi (pengecekan fakta), serta komitmen atas koreksi yang terbuka dan jujur.
Selain itu, Sasmito mengingatkan agar pers nasional menjalankan fungsi kontrol sosial seperti diamanatkan Undang-undang Pers. Termasuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum seperti pembangunan proyek Bendungan Bener yang berdampak kepada warga Wadas.
Pers nasional diminta memberikan suara kepada mereka yang tidak bisa bersuara. “Sebab hanya pers yang mendapat jaminan perlindungan UU Pers, yang dapat menjadi juru bicara publik saat berhadapan dengan pemerintah atau penguasa,” ujarnya.
Sasmito juga meminta jurnalis agar bersikap independen dan menghasilkan berita yang akurat terkait peristiwa di Wadas. “Independen dapat diartikan memberitakan peristiwa atau fakta tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan,” terangnya.
Sedangkan akurat berarti sesuai keadaan obyektif peristiwa tersebut dan telah diverifikasi berlapis, tidak hanya sekedar mengutip pernyataan pejabat atau narasumber tertentu.
Sebelumnya, ratusan aparat gabungan mendatangi Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada Selasa (8/2). Mereka mendampingi puluhan petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang akan melakukan pengukuran tanah sebagai bagian dari pembangunan proyek Bendungan Bener.
Kegiatan pengamanan yang berlebihan ini kemudian berujung penangkapan warga dan pendamping. LBH Yogyakarta mencatat setidaknya ada 67 warga Desa Wadas, termasuk di antaranya anak di bawah umur dan perempuan ditangkap polisi. “Warga baru dilepaskan polisi pada Rabu (9/2),” ujarnya.
Peristiwa pengamanan berlebihan yang disertai kekerasan dan penangkapan ini menjadi sorotan media massa dan warganet di media sosial. Sebagian besar media massa terpantau menurunkan pemberitaan soal Wadas sejak Selasa (8/2) lalu.
“Kendati demikian, pemerintah terlihat berupaya mendistorsi berita terkait pengamanan berlebihan, kekerasan, dan penangkapan yang dilakukan aparat,” kata Sasminto. Hal tersebut setidaknya tergambar dalam konferensi pers yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD di Jakarta pada Rabu (9/2).
Mahfud menyampaikan bahwa semua informasi dan pemberitaan yang menggambarkan suasana mencekam di Desa Wadas tidak terjadi seperti yang digambarkan, terutama di media sosial. Ia mengklaim situasi di Desa Wadas dalam keadaan tenang dan meminta warga tidak terprovokasi.
Siaran informasi Polri juga melabeli situasi di Wadas sebagai hoaks atau informasi bohong. Ini terlihat dari unggahan humas.polri.go.id yang berjudul “Ulama Purworejo Serukan Warga Menolak Hoax Tentang Situasi Wadas, Polda Jateng Warning Akun Tukang Provokasi” pada Kamis (10/2).
Dalam unggahan tersebut, Polri juga menegaskan menindak pengelola akun-akun yang dinilai provokatif melalui jalur hukum. “Faktanya warga hanya menyampaikan informasi melalui media sosial terkait peristiwa yang terjadi di Desa Wadas,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, akun twitter @DivHumas_Polri juga menyematkan stempel hoaks terhadap konten milik Wadas Melawan. Polisi membuat narasi bahwa ada warga yang membawa senjata tajam dan kemudian diamankan polisi. “Namun, Tempo melaporkan bahwa senjata tajam yang dibawa warga merupakan alat untuk mencari rumput pakan ternak,” tutupnya. (Redaksi)