Jekson Simanjuntak
“Memang banyak yang mau vaksin, tapi karena jalannya yang kurang baik dan kendaraan juga minim. Bahkan sampai sekarang kendaraan umum penumpang saja belum ada.”
MERAUKE, MEDIAJAKARTA.COM – Tingkat vaksinasi Covid-19 di tanah Papua secara umum tergolong rendah jika dibandingkan daerah lain di Indonesia. Kendati demikian, sejumlah kabupaten di Papua memiliki cakupan vaksinasi diatas 70 persen. Merauke salah satunya. Meskipun terbilang tinggi, ternyata jumlah penduduk lokal (Orang Papua Asli) yang divaksinasi sangat rendah. Kondisi itu, salah satunya ditengarai akibat pelibatan TNI/Polri.
Terbukti, Jumat (17/12/2021) tidak banyak warga yang mendatangi posko vaksinasi yang dibangun Polsek Kurik di kawasan Dermaga Kumbe, berjarak 93 Km dari Kota Merauke. Padahal, beberapa hari sebelumnya sosialisasi telah dilakukan oleh aparat polsek.
Kapolsek Kurik AKP Marlina Kaimu yang sejak pukul 8.30 WIT tiba di lokasi berharap banyak warga yang datang. Pasalnya, Dermaga Kumbe yang merupakan wilayah Distrik Malind dianggap strategis untuk menjangkau warga dari dua distrik, yakni Kurik dan Malind.
Kumbe juga menghubungkan antara dua daratan Kabupaten Merauke yang dipisahkan oleh Sungai Kumbe. Sepanjang waktu muara Sungai Kumbe dimanfaatkan oleh kapal-kapal kayu untuk berlindung dari gelombang.
“Kawasan Kumbe dipilih agar para pelaut dan ABK yang bersandar bisa ikut vaksinasi,” ujarnya. Setiap hari, puluhan kapal bersandar. Itu sebabnya kawasan Kumbe tak pernah sepi.
Pelaksanaan vaksinasi, selain dibantu tenaga kesehatan dari Polres Merauke, AKP Marlina dan timnya didukung oleh Puskesmas Kumbe. “Hari ini kita membuka vaksinasi bekerjasama dengan Puskesmas Kumbe dengan target 500 orang,” ungkapnya
Sejatinya, pelaksanaannya digelar dua hari, sesuai arahan Kapolres. Vaksinasi menargetkan 1000 orang, berasal dari beragam kampung di kawasan itu, termasuk para ABK.
“Tapi jika melihat situasi dan kondisi, kami punya inisiatif bahwa target untuk 2 hari bisa dapat 500 orang saja,” kata AKP Marlina bersemangat.
Sebelumnya, ia sempat berkoordinasi dengan Humas Polres Merauke agar dibuatkan iklan vaksinasi yang akan disebarkan kepada masyarakat sebelum hari H.
“Iklan itu Humas Polres terbitkan, saya langsung sampaikan kepada kepala distrik yang ada di wilayah sini. Kebetulan membawahi 3 distrik, dan saya utamakan adalah Distrik Kurik dan Distrik Malin,” terangnya.
Poster dan selebaran kemudian disebarluaskan oleh para kepala kampung dan ketua RT/RW di dua distrik tersebut. “Mungkin hari pertama ini, kami lihat, masih berdatangan masyarakat satu-dua, tapi di hari kedua kami harapkan lebih meningkat lagi,” ujarnya.
Kegiatan vaksinasi direncanakan sejak pagi hingga sore hari, tergantung dari banyaknya warga yang datang. “Kami lihat situasi. Kalau memang masyarakat datang, tetap kami layani,” jelasnya.
Untuk menghargai kerelaan dan kesediaan mengikuti vaksinasi, warga akan mendapatkan bantuan sosial. “Mereka yang telah vaksin ada pemberian sembako berupa beras 5 Kg,” katanya. Jika ditotal beras yang disalurkan berjumlah 2 ton.
Jika vaksinasi di Dermaga Kumbe berjalan lancar, selanjutnya akan digelar di lokasi lain, tergantung kebutuhan masyarakat. Jika dirasa sulit, halaman Polsek Kurik bisa digunakan sebagai solusi alternatif.
“Atau saya buka di distrik Animha, saya akan lihat dari situasi dan cuaca yang suka berubah karena angin dan hujan ini,” ungkapnya.
Rajin ke Kampung Lokal
AKP Marlina menjelaskan, tidak semua penduduk lokal enggan divaksin. Namun tidak sedikit yang terpengaruh informasi di media sosial atau pun menonton berita di televisi.
“Mungkin mereka lihat berita-berita yang buat mereka takut. Kalo niat divaksin mereka ada. Mereka mau agar bisa sehat juga,” katanya.
Hal itu merupakan tantangan terberat yang dihadapi AKP Marlina. Ia tak ingin saudaranya sesama orang asli Papua (OAP) tertinggal dalam vaksinasi.
“Saya datangi mereka dan rata-rata menolak, karena itu sudah. Mereka lebih mempercayai hoaks yang berkembang,” terangnya.
Namun dia tidak mudah menyerah. AKP Marlina rutin memberikan pengertian kepada penduduk lokal yang ditemuinya. Semua kesempatan ia manfaatkan. “Toh mereka ada yang langsung mengerti dan paham tentang vaksin ini dan membawa keluarga,” katanya.
Bahkan ada juga yang berkata, ” Ibu kami mau vaksin dan kami sudah siap. Ternyata vaksin itu baik untuk kami. Hoaks yang selama ini berkembang tidak benar.”
Jika demikian, AKP Marlina akan berkoordinasi dengan para kepala kampung untuk melakukan penjemputan. “Memang banyak yang mau vaksin, tapi karena jalannya yang kurang baik dan kendaraan juga minim. Bahkan sampai sekarang kendaraan umum penumpang saja belum ada,” ungkapnya.
Kedepannya, AKP Marlina berencana meminjam kendaraan angkut milik Polres Merauke. “Itu bisa digunakan atau bisa juga meminjam kendaraan masyarakat disini. Itu pun harus ada koordinasi dari aparat kampung.” katanya.
Selama ini, salah satu hambatan terbesar adalah munculnya anggapan bahwa penduduk lokal tidak keluar daerah, sehingga tidak perlu divaksin. Vaksin hanya untuk pendatang.
“Memang rata-rata saudara saya mengatakan, kami tidak kemana-mana. Kami disini saja. Kami di kampung, kami sehat. Kami makan makanan yang ada disini, kami sehat,” ujarnya.
Atas dasar itu, AKP Marlina rajin masuk ke kampung-kampung lokal untuk memberikan pengertian tentang vaksinasi. “Vaksin bukan untuk membunuh mereka tetapi untuk kami sehat,” ucapnya.
Vaksin Syarat Keberangkatan
Parto Suwito (84) warga Kampung Salor Indah tertunduk lesu usai dilarang mengikuti vaksinasi tahap pertama. Petugas yang memeriksanya menemukan tekanan darah yang tinggi dan berisiko terhadap kesehatannya jika vaksinasi dilanjutkan.
“Tadi saya tidak dikasih vaksin karena tekanan darah yang tinggi, dan jika divaksin saya tidak kuat,” paparnya.
Parto sengaja datang ke Kumbe, karena Senin (20/12/2021) akan terbang ke Jayapura bersama sang istri untuk sebuah urusan keluarga. Sejak sertifikat vaksin disyaratkan agar bisa melakukan perjalanan ke luar daerah, Parto berniat ingin divaksin. Kebetulan ia mendapat kabar dari anggota keluarganya jika Polsek Kurik melakukan vaksinasi di Kampung Kumbe.
“Kalau bisa divaksin sekarang (Jumat, 17/12/2021), soalnya Senin mau terbang ke Jayapura. Saya ikut vaksin biar bisa naik pesawat,” ungkapnya.
Di hadapan petugas medis, Parto mengaku mengidap Asma dalam tiga tahun terakhir. Jika penyakitnya kambuh, ia mengalami kesulitan bernafas. Dan malam sebelum vaksinasi, ia minum obat untuk meredakan penyakitnya.
Hal itu diamini Ika Suci Lestari (22), cucu Parto yang mendampingi. Menurutnya, penyakit sang kakek kambuh berdampak pada tekanan darahnya. “Tadi pas dicek tekanannya tinggi sekali,” ujarnya.
Bagi Parto, kondisi itu tidak menggoyahkan niatnya untuk tetap berangkat. Pasalnya, ia sudah lama tidak bertemu anak dan cucunya. Ia bahkan rela membayar, jika hal itu memungkinkan.
“Surat keterangan dikasih. Bayar uang ya, saya mau. Yang penting sudah ikut vaksin toh,” katanya.
Parto mengubur keinginannya itu, karena vaksinator malah merujuknya ke RSUD Merauke. Ia tidak tahu, apakah disana bisa mendapatkan surat keterangan tidak boleh divaksin.
“Setelah ini mau minta surat keterangan dari rumah sakit, bahwa tidak bisa divaksin. Jika surat itu ada, maka bisa terbang,” ujar Parto.
Saat ditanya kemungkinan tetap tidak diizinkan berangkat, Parto justru berharap sebaliknya. Ia ingin hal itu bisa diselesaikan di Dermaga Kumbe dan tidak berlanjut ke rumah sakit.
“Kalo bayar uang ya, mau berapa bayarnya. Inginnya selesai disini. Kalau di kota tidak ada jaminan,” tuturnya.
Sementara Wakiyem (75), istri Parto Suwito bisa bernafas lega. Ia dinyatakan sehat dan diperbolehkan mengikuti vaksinasi. Tiga puluh menit kemudian, sertifikat vaksin ia terima.
“Saya senang bisa ikut vaksin, karena butuh pegangan ini, karena mau berangkat ke Jayapura hari Senin (20/12/2021),” katanya.
Saat divaksin Wakiyem tidak merasakan sakit. Semua terjadi dengan cepat, berkat bantuan tenaga medis yang ramah dan cekatan.
“Tidak rasa apa-apa. Enak sekali. Saya tidak lihat pas divaksin. Kalo liat jarumnya sih takut,” ungkapnya. Selanjutnya, Wakiyem harus mengikuti vaksinasi tahap kedua pada tanggal 14 Januari 2022.
Wajahnya yang semula ceria berubah mendung, begitu mengetahui suaminya gagal divaksin. Ia kurang bersemangat jika harus berangkat sendirian. Ia membutuhkan Parto disampingnya.
“Sekarang sudah senang saya karena punya sertifikat vaksin. Tapi bapaknya belum bisa vaksin. Pikiran saya ya masih berat toh, terhadap suami,” jelasnya.
Menurut Wakiyem, “Tadi malam si bapak sempat batuk-batuk, dan setelah itu minum obat. Mungkin itu penyebabnya.”
Bagi Yulianus Gepse (58), penduduk lokal Marin Kumbe, mendapatkan sertifikat vaksin sungguh anugerah terbesar. Ia tidak menyangka pagi itu bisa divaksin, setelah sebelumnya sempat khawatir dengan maraknya kabar bohong yang beredar.
“Saya sebenarnya takut dengan hoaks yang berkembang, tapi semua Tuhan yang mengatur. Kamu boleh bilang begini-begini, tetapi kesembuhan yang mengatur Tuhan,” terangnya.
“Itu su kita percaya masih ada Tuhan. Kita tidak usah terlalu banyak pikir yang macam-macam,” imbuhnya.
Ini merupakan pengalaman pertama Yulianus. Karena itu ia tidak akan lupa. Saat ditanya seperti apa rasanya, Yulianus mengatakan, “Tadi setelah disuntik, macam ada sesuatu disini. Sebentar tapi. Sekarang sudah enak.”
Usai divaksin ia disarankan menunggu selama 30 menit untuk diobservasi. “Sejauh ini, saya belum rasakan aneh-aneh,” terangnya.
Yulianus memberanikan diri divaksin karena akan berangkat ke Jayapura. Ia berangkat setelah tahun baru 2022, sehingga masih ada waktu untuk vaksin.
“Sekarang tidak diizinkan terbang jika tidak ada surat vaksin. Apapun yang terjadi saya harus ikut aturan,” katanya.
Berdasarkan pengakuannya, keinginan divaksin berasal dari diri sendiri. Tidak ada yang mempengaruhi. “Memang sebenarnya dari bulan lalu, tapi karena kebetulan kerja, saya harus istirahat dulu jika mau vaksin,” ujar Yulianus.
Begitu mengetahui vaksin aman untuk kesehatan, ia akan mengajak saudara-saudaranya. Ini sekaligus membantah kabar bohong yang dilihatnya di televisi, termasuk informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut.
“Nanti saya pulang, saya akan bilang, sudah mari, tidak usah pikir takut lagi. Tapi kalo kita sehat-sehat saja, yang penting kita berdoa dan beristirahat untuk bisa ikut suntik covid,” jelasnya.
Lebih jauh, Yulianus menuturkan, “Namanya ini wabah. Ini penyakit, jadi kita harus berobat. Kita tidak tahu, mungkin besok kita mau urus apa-apa, kita tidak ada surat Covid, kan susah. Kita musti cari lagi kembali.”
Catatan Peneliti
Peneliti BRIN dari satuan kerja Pusat Penelitian Kewilayahan Cahyo Pamungkas mengungkapkan, fenomena vaksin di Papua identik untuk masyarakat perkotaan. Sementara penduduk lokal beranggapan mereka adalah manusia yang sehat. Temuan itu ia dapatkan setelah melakukan penelitian mendalam di Papua beberapa waktu lalu.
“Disana orang yang memakai masker justru orang sakit. Orang yang tubuhnya lemah. Itu mendekonstruksi pengetahuan selama ini,” katanya.
Penduduk lokal tidak memakai masker karena ingin mengatakan, “Kami ini orang yang lebih sehat dari kamu pendatang. Covid-19, vaksin dan antigen identik dengan mereka.”
Bahkan dalam pertemuan Dewan Adat Papua di Kaimana beberapa waktu lalu yang membawahi tujuh wilayah adat, salah satu klausulnya adalah menolak vaksin.
“Pertama, mereka membagi pengetahuan bahwa vaksin adalah antiKristrus. AntiKristus itu tidak percaya kepada Tuhan. Mereka percaya divaksin akan mati,” terang Cahyo.
Kedua, vaksin dicurigai sebagai rekayasa genetik untuk memusnahkan orang Papua. Seharusnya vaksin untuk orang Papua diteliti dan dikaji khusus. “Diidentifikasi orang Papua itu, cocoknya vaksin yang mana?”
Ketiga, program vaksinasi dianggap tidak demokratis. “Makanya benar, ketika melibatkan TNI/Polri, tetapi tidak melibatkan tenaga kesehatan lokal. Ada apa dibalik itu?”
Keempat, kurangnya komunikasi dan promosi kesehatan. “Yang terjadi, duit itu tidak digunakan untuk sosialisasi, akibatnya orang Papua lebih percaya kepada hoaks di media sosial, karena tidak ada sosialisasi,” ungkap Cahyo.
Kelima, terkait pengalaman empiris warga. Banyak yang tidak ditanya penyakitnya apa, sehingga ada yang meninggal. “Jadi ada miss atau pengalaman pahit orang divaksin, tidak ditanya sehingga beberapa meninggal, sehingga menjadi berita,” terangnya.
Keenam, memang ada distrust terhadap pemerintah. Apapun program dari pemerintah pasti ditolak, karena rasa tidak percaya. “Pemerintah tidak percaya kepada orang Papua dan orang Papua tidak percaya pemerintah. Sehingga vaksin yang seharusnya menjaga keberlangsungan hidup orang Papua menjadi variabel yang tidak dipercaya,” katanya.
Ketujuh, masyarakat adat tidak dilibatkan dalam vaksinasi, padahal mereka yang paling tahu kebutuhan penduduk lokal. Lalu ada pelibatan gereja, namun banyak dari pendeta yang justru menolak divaksin.
“Gara-gara itu, orang Papua cerdas. Mereka mengetahui dampak vaksin dan lain-lain. Mereka menuntut vaksin itu harus sesuai dengan genetika mereka,” ucapnya.
Begitu kompleksnya permasalahan yang terjadi di Papua, Cahyo mengamati munculnya pandangan (culture of knowledge) bahwa Covid-19 merupakan penyakit yang didisain dan Indonesia menunggangi Covid-19.
“Indonesia menunggangi Covid-19 untuk menguasai Papua. Ini pandangan cukup kuat, apalagi jika vaksin dilakukan oleh tentara dan polisi,” jelasnya.
Sehingga tidak mengherankan, jika pelaksanaan vaksinasi didominasi oleh pendatang. Ini juga dikuatkan dengan data bahwa kasus positif Covid-19 kebanyakan dialami para pendatang.
“Yang banyak terkena dan melakukan perjalanan dinas itu adalah pendatang. Jadi wajar jika orang Papua menolak,” tegasnya.
Ada Banyak Solusi
Pius Kornelis Manu, imam di Kantor Keuskupan Merauke menilai pelibatan TNI/Polri dalam vaksinasi di Merauke menunjukkan adanya kepentingan tertentu. Salah satunya untuk meningkatkan angka vaksinasi jelang PON XX.
“Mereka melakukan itu, jelas ada kepentingan-kepentingan tertentu, supaya dana itu cair. Itu pasti ada. Itu pasti saling terkait,” katanya.
Pius Kornelis Manu, akrab disapa Pastor Pius menyaksikan banyak anggota keluarganya yang divaksin, setibanya di Merauke. Padahal sebelumnya, vaksinasi berjalan lambat. “Pulang dari Jakarta, keluarga saya banyak yang divaksin mendadak. Artinya, yang tadi takut vaksin, supaya bisa nonton PON,” ujarnya.
Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah sedang kejar target. Namun disayangkan peristiwa setelahnya, “Orang ramai-ramai divaksin, tapi tahap kedua tidak lanjut,” ungkapnya.
Ada kesan vaksinasi tahap kedua diabaikan, ketika banyak warga tidak mengikutinya. “Vaksinasi tahap kedua tidak jalan. Apakah dananya habis, saya juga tidak tahu,” katanya.
Akhirnya Pastor Pius tiba pada sebuah kesimpulan, “Sifatnya mungkin sementara hanya untuk PON saja.”
Keikutsertaan TNI/Polri yang berseragam lengkap juga disoroti Pastor Pius. Menurutnya, akan lebih baik jika mereka tidak menggunakannya. “Kami amat membutuhkan mereka, tetapi bukan dengan penampilan begitu. Salah satu penilaian saya adalah seolah-olah mau mengekspose kehebatan dan kekuatan militer,” katanya.
Sementara terkait dengan maraknya pengorganisiran warga di sejumlah daerah untuk mengikuti vaksinasi, dia menilai hal itu justru memunculkan ketakutan di masyarakat.
“Kemudian orang juga takut bersuara secara bebas. Ketika orang tidak bisa menyalurkan ekspresi secara bebas, itu juga masuk pelanggaran HAM,” ujarnya.
Hal-hal seperti itu menurut Pastor Pius tidak perlu, karena yang terpenting adalah penyadaran dan sosialisasi bahwa vaksin baik untuk kesehatan, termasuk untuk melindungi orang-orang terdekat.
“Kadang kala saya lihat itu berlebih-lebihan yang sebenarnya tidak perlu. Karena itu saya berasumsi, bahwa mungkin dengan hal seperti itu, terbawa pada mereka ingin mensukseskan vaksinasi ini,” jelasnya.
Pastor Pius juga menyaksikan sosialisasi yang dilakukan tidak tepat sasaran. Alasannya, metode yang dipilih tidak berhasil menjangkau masyarakat yang kebanyakan tinggal jauh dari jalan-jalan protokol.
“Saya lihat sosialisasi itu kurang sekali, lebih banyak mobil itu di jalan-jalan protokol dengan beri penjelasan pakai toa. Tidak masuk ke gang-gang,” katanya.
Kendati demikian, dia bisa dimaklumi bahwa pemerintah memiliki keterbatasan. Termasuk untuk menjangkau penduduk lokal yang kebanyakan tinggal di pinggiran kota.
“Saya harus akui keterbatasan petugas kesehatan dan tenaga tim pengendali Covid-19, mereka tidak mampu masuk hingga ke yang kecil-kecil seperti itu.”
Atas dasar itu, dia mengusulkan adanya koordinasi kerja antara petugas kesehatan dengan pemerintahan terkecil di tingkat kampung. “Itu perlu diperbaiki. Sehingga dengan demikian, sosialisasi lebih merata dan lebih mengena.”
Pastor Pius menambahkan, “Ini yang bagi saya tidak dibangun, seharusnya tidak seperti itu. Petugas medis jangan dibiarkan sendiri.”
Senada dengan Pastor Pius, Cahyo menilai TNI/Polri dilibatkan dengan tujuan menyukseskan percepatan vaksinasi di Papua. Percepatan yang ditengarai melibatkan dana besar.
“Kegiatan vaksinasi yang dilakukan TNI-Polri itu proyek aja. Mereka membutuhkan uang. Mereka dilibatkan karena akan memberikan mereka pekerjaan,” ujarnya.
Hal itu didasarkan pada kekhawatiran, “Untuk sosialisasi vaksin akan ribut, ricuh maka kemudian dikirim lah TNI/Polri.”
Menurut Cahyo, pendekatan model begitu hanya akan memunculkan ketidakpercayaan di masyarakat dan tidak terlalu efektif. Seharusnya dewan adat, gereja, tokoh perempuan dan pemuda yang dirangkul untuk menyukseskan vaksinasi.
“Itu yang tidak dilakukan. Bupati melalui dinas kesehatan jalan sendiri,” katanya.
Belakangan ada yang berubah. Gereja dilibatkan, karena dianggap memiliki lahan yang luas dan bisa digunakan sebagai lokasi vaksinasi. “Sehingga warga bisa berkumpul. Tetapi beberapa saya lihat banyak juga pendeta yang menolak,” papar Cahyo.
Mereka yang menolak punya alasan tertentu. “Saya pendeta. Tapi karena menuruti pemerintah, saya katakan, silahkan bagi yang ingin. Tapi saya menolak divaksin,” ujarnya.
Pada situasi demikian, Cahyo menilai, semua dinas-dinas harus ditingkatkan partisipasinya. Selama ini ada kesan, fokus penanganan Covid-19 hanya pada dinas kesehatan saja. “Dinas lain tidak dilibatkan. Jadi perlu duduk bersama diantara mereka,” katanya.
Selanjutnya, dewan adat, gereja dan dinas kesehatan perlu berbagi peran. Mereka harus berdialog dan memberikan akses kepada masyarakat adat untuk melakukan sosialisasi dan transparansi terkait penanganan Covid-19 dan vaksinasi.
Untuk itu, Cahyo mengusulkan dihidupkannya kembali falsafah “Satu Tungku Tiga Batu” yang merupakan simbol kerukunan di Papua. Tungku adalah lambang kehidupan, sedangkan tiga batu adalah simbol dari perbedaan yang diikat dalam wadah persaudaraan.
Caranya dengan merangkul, gereja, dewan adat, perempuan dan pemuda untuk menyukseskan vaksinasi. Masing-masing pihak dilibatkan melakukan penyadaran di tengah-tengah masyarakat.
“Saya kira, solusi terbaik adalah duduk bersama antara pemerintah daerah bersama dengan dewan adat, tokoh agama, tokoh perempuan dan pemuda,” tegasnya.
Solusi lainnya dengan penggunaan bahasa daerah. “Anehnya, kadis kesehatan banyak dipegang oleh pendatang yang tidak bisa berbahasa daerah,” ungkap Cahyo.
Dia mencontohkan di Biak, Kadis Kesehatannya orang Papua, tapi para juru kampanye dan kepala-kepala bidang berasal dari luar daerah.
Contah lainnya, orang Sorong yang bekerja di Kab. Tambrauw. “Saat sosialisasi, dia hanya bisa bahasa Sorong dan tidak bisa bahasa Tambrauw,” katanya.
Itu menjadi alasan mengapa sosialisasi vaksin sebaiknya menggunakan bahasa lokal. Untuk itu diperlukan penerjemahan materi kampanye kedalam setiap bahasa daerah.
Jika Papua memiliki 300 ratus suku, maka ada 300 ratus bahasa. Dengan demikian, sosialisasi vaksin harus diterjemahkan ke dalam 300 bahasa. “Ini yang tidak dilakukan,” pungkasnya. (End)