Mengintip Vaksinasi Di Merauke (Bagian II)

Headline Indeks Indonesia News Terkini

Jekson Simanjuntak

“Kebanyakan yang mau berangkat ke daerah lain. Malah besok mau berangkat, hari ini datang minta divaksin buru-buru”

MERAUKE, MEDIAJAKARTA.COM – Antrean sudah mengular, saat Nurman (30), seorang awak kapal tiba di Klinik Pratama Polres Merauke. Bersama temannya ia rela menunggu demi mendapatkan sertifikat vaksin.

Pagi itu, Selasa (14/12/2021), dia sengaja mendatangi klinik Polres yang terletak di Jalan Trikora No. 25 Kab. Merauke untuk menuntaskan vaksinasi tahap kedua. Tanpa vaksinasi lengkap, Norman tidak diperbolehkan bekerja dan tidak diizinkan berlayar.

“Contohnya kemarin saya ikut kapal dan disuruh vaksin lengkap. Jika tidak punya sertifikat tidak bisa kembali kerja ke kapal,” ungkap Norman, pemuda asal Makassar.

Jika merujuk pada tanggal yang ditentukan, Norman seharusnya divaksin di bulan November. Namun ia terlambat, karena keburu berlayar ke Merauke. Di Merauke ia bertekad menuntaskan vaksinasi.

“Saya kemarin vaksin pertama di Sulawesi. Dosis kedua saya sudah lewat tanggalnya.  Sampai disini, terus langsung vaksin, karena disini buka setiap hari,” katanya.

Antrean untuk mengikuti vaksinasi di Klinik Pratama Polres Merauke. Saat ini jumlah warga pendatang dan penduduk asli Papua (OAP) yang mengikuti vaksinasi hampir berimbang. (Foto: Jekson Simanjutak)

Usai mendapatkan vaksinasi lengkap, ia akan melanjutkan pelayaran menuju Senggo, sebuah wilayah yang terletak di Distrik Citak Mitak, Kabupaten Mappi, Papua. Jaraknya cukup jauh dari Merauke, selama 4 hari 4 malam menggunakan kapal.

“Saya ingin berangkat ke Senggo, pedalaman Papua. Jika tidak ada sertifikat tidak bisa berangkat,” ujarnya.

Sama seperti Norman, Timotius Warba (16) juga mendatangi klinik Polres Merauke. Tujuannya, agar bisa pulang ke kampung halaman di Kimam, Distrik Ilwayab, Merauke, pada momen Natal 2021. Ia ingin bertemu dengan kedua orang tua dan saudara-saudarinya.

“Saya mau Natalan di kampung. Ntar balik lagi ke sini,” jelasnya.

Timotius Warba (16) menjalani vaksinsi dosis pertama di Klinik Pratama Polres Merauke agar bisa pulang ke kampung halaman di Kimam, Distrik Ilwayab. (foto: Jekson Simanjuntak)

Ini merupakan pengalaman vaksin pertama Timotius, karenanya ia was-was. Banyaknya informasi hoaks juga membebani pikirannya. Meski sempat ragu, ia merelakan lengan kirinya disuntik. Sekejap berlalu, rasa takutnya hilang, hanya menyisakan sedikit pegal.

“Sebelumnya gak ikut vaksin massal karena belum berani. Juga karena media sosial,” ujarnya.

Norman berubah pikiran, “Ketika sudah banyak yang vaksin, maka kita bilang, di vaksin tidak apa-apa. Akhirnya kita juga ikut.”

Usai menjalani vaksinasi, Timotius berencana mengajak teman-temannya. Ia akan bercerita tentang pengalaman divaksin. “Saya ada rencana ajak teman. Saya akan bilang, kalo kita vaksin tidak apa-apa. Tidak masalah,” katanya.

Sebelum divaksin, Timotius sempat membeli tiket. Namun ia ditolak, dan disarankan segera divaksin karena aturannya memang demikian. “Pernah nyoba naik kapal pas belum vaksin. Terus disuruh pulang. Petugas tiket bilang, dong harus vaksin dulu, baru bisa beli tiket,” ujarnya.

“Setelah ada surat vaksin baru bisa dilayani untuk naik ke kapal.”

Vaksinasi di Klinik Pratama Polres Merauke

Kasie Dokkes Polres Merauke Rahmadani menjelaskan, kegiatan vaksinasi di Klinik Pratama telah dimulai pada Agustus 2021. Saat itu, untuk membantu kelancaran vaksinasi, 36 relawan didatangkan yang biayanya ditanggung oleh Mabes Polri.

“Kami membentuk 8 tim. Tujuh tim yang mobile keluar dan 1 tim statis di klinik Polres,” ujarnya.

Kasie Dokkes Polres Merauke Rahmadani menjelaskan, kegiatan vaksinasi di Klinik Pratama telah dimulai pada Agustus 2021. Saat itu mereka dibantu oleh 36 relawan medis. (Foto: Jekson Simanjuntak)

Setelah kontrak relawan usai di bulan September, pelayanan vaksinasi tetap berjalan. “Waktu itu sempat Senin sampai Jumat saja dan Sabtu – Minggu tidak. Cuma kemarin diperintahkan tiap hari untuk pelayanan vaksinasi. Jadinya kita buka setiap hari,” terang Rahmadani.

Hingga 13 Desember 2021, sebanyak 20 ribu dosis vaksin tahap pertama telah disalurkan dan untuk dosis kedua sebanyak 10 ribu lebih. Artinya, sudah lebih dari 30 ribu orang datang ke klinik Polres untuk di vaksin. Mereka berasal tidak hanya dari wilayah Merauke, tetapi juga dari luar daerah.

“Jenis vaksin yang digunakan Sinovac. Moderna hanya untuk kalangan nakes sebagai booster vaksin ketiga,” ungkapnya.

Menurut Rahmadani, metode yang digunakan untuk menyukseskan vaksinasi  melalui pelibatan babinkamtibmas dan anggota polres. Mereka yang mengajak masyarakat untuk divaksin. “Jadi itu metode pertama, selain pelibatan tim medis yang ada disini,” ujarnya.

Kedua, memberikan bantuan sembako. “Mungkin pernah dengar waktu Agustus – September, kita menggalakkan vaksin menggunakan sembako. Diberikan beras, telur bahkan yang sudah vaksin dikasih duit Rp50 ribu,” jelas Rahmadani.

Kendati demikian, tantangan yang dihadapi tetap ada. Di benak masyarakat tertanam pandangan bahwa mereka mengidap penyakit tertentu. “Saya tidak bisa divaksin, lalu kita jelaskan berulang-ulang. Jika tidak bisa juga, ujung-ujungnya dirujuk ke dokter spesialis,” ucapnya.

Selain itu, banyak yang datang hanya untuk mendapatkan surat keterangan tidak bisa divaksin. Padahal jika dilihat dari aspek medisnya, ia layak divaksin.

“Cuma memang dari pribadinya sendiri yang menganggap, bahwa ini bahaya, sehingga dia gak mau.”

Fenomena ingin mendapatkan surat tidak bisa vaksin diamini oleh Asnianti (37), vaksintator dan petugas kesehatan di klinik Polres. Menurutnya, warga enggan divaksin karena sejumlah hal.

Asnianti (37), vaksintator dan petugas kesehatan di klinik Polres Merauke mengakui, banyak warga enggan divaksin karena sejumlah hal. (Foto: Jekson Simanjuntak)

Hanya saja, permintaan itu bukan perkara mudah. Klinik Polres tidak akan memberikannya tanpa alasan yang jelas. Seseorang harus diperiksa terlebih dahulu untuk membuktikan layak atau tidaknya divaksin.

“Tapi kita gak kasih keluar, yang kasih keluar hanya rumah sakit, jadi kita arahkan ke sana,” katanya.

Uniknya, ketika tidak mendapatkan yang diinginkan, warga biasanya pasrah. Mereka rela divaksin. “Yang tidak bisa ke rumah sakit, mereka akhirnya, oke lah, vaksin saja,” ujar Asnianti

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke Nevile Muskita menjelaskan, seseorang tidak divaksin karena alasan tertentu. Umumnya yang memiliki penyakit berkaitan dengan autoimun, penyakit penyerta yang tidak terkontrol, wanita hamil atau menyusui, baru sembuh dari Covid-19 kurang dari 3 bulan dan sedang sakit.

“Kemudian ada penyakit-penyakit Diabetes dengan kadar gula yang tidak terkontrol hingga Hipertensi,” katanya.

Khusus mereka yang tidak bisa divaksin karena alasan tertentu, Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke memiliki datanya. Data tersebut juga dilaporkan ke povinsi.

“Datanya ada by system untuk ditarik jika sewaktu-waktu diperlukan. Tapi jumlahnya tidak banyak,” tegas Nevile.

Prinsip Dasar Vaksinasi

Setiap warga yang hendak divaksin, harus melewati serangkaian tahapan. Dimulai dari pemeriksaan tekanan darah dan suhu. Jika suhunya diatas 37.5 derajat C, vaksinasi akan ditunda.

“Begitu juga jika tekanan darah diatas 180 per 110, kita tunda. Biasanya kita kasih resep. Pulang dulu. Tiga hari kemudian balik lagi untuk divaksin,” jelas Rahmadani.

Hal yang sama dilakukan ketika menemukan warga dengan riwayat Diabetes. “Kita periksa gulanya dulu. Jika diatas 250 biasanya tidak divaksin, tapi ditunda. Ditunggu sampai stabil,” ujarnya.

Vaksinasi COVID-19 Tahap Pertama Berdasarkan Kabupaten/ Kota Di Papua. Data per Tanggal 18 Januari 2022 Pukul 18.00 WIB. (sumber: https://vaksin.kemkes.go.id)

 

Vaksinasi COVID-19 Tahap Kedua Berdasarkan Kabupaten/ Kota Di Papua. Data per Tanggal 18 Januari 2022 Pukul 18.00 WIB. (sumber: https://vaksin.kemkes.go.id)

Senada dengan itu, Nevile menjelaskan prinsip dasar sebelum divaksin adalah penapisan (screening) yakni proses menjalani berbagai tes dan prosedur yang bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi kesehatan tertentu pada tahap dini.

Cara itu juga digunakan untuk mendeteksi kondisi kesehatan yang berbeda, termasuk kanker, penyakit jantung, diabetes, penyakit kronis lainnya dan masalah kesuburan. Tergantung pada usia, jenis kelamin, kondisi kesehatan dan faktor risiko.

“Jadi prinsipya, sebelum vaksinasi sudah harus melewati proses screening. Setelah itu dinyatakan layak divaksin,” katanya.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke Nevile Muskita menjelaskan vaksinasi berjalan sesuai target. Seseorang tidak divaksin karena alasan tertentu. (Foto: Jekson Simanjuntak)

Lebih jauh Nevile menyebut soal target vaksinasi di Merauke, “Mudah-mudahan akhir tahun (2021) ini bisa mencapai 80%. Sekarang sudah tercapai. Sedapat mungkin itu yang kita lakukan. Tetapi target minimal harus ada.”

Vaksinasi dilakukan untuk memunculkan herd immunity (kekebalan kelompok) di masyarakakat. Syaratnya, angka vaksinasi minimal telah mencapai 70% dari populasi total. “Kita itu sudah tercapai. Dan semakin banyak yang divaksin semakin baik,” ujarnya.

“Karena sudah 80%, maka kita stop disitu. Tidak begitu. Kita tetap jalan. Jika masih ada yang mau vaksin, maka tetap divaksin,” imbuhnya.

Berangkat Ke luar Daerah

Sepengamatan Rahmadani, banyak warga Merauke yang tiba-tiba bersedia divaksin, karena ingin melakukan perjalanan ke luar daerah. Baik perjalanan antar kabupaten, atau pun antar pulau dengan menggunakan mobil, kapal atau pesawat terbang.

“Kebanyakan yang mau berangkat ke daerah lain. Malah besok mau berangkat, hari ini datang minta divaksin buru-buru,” katanya.

Banyak penduduk lokal mengikuti vaksinasi agar bisa berangkat ke luar daerah. Tanpa sertifikat vaksin, warga tidak diizinkan berangkat. (Foto: Jekson Simanjuntak)

Pun, tak sedikit yang tertahan di bandara, karena belum divaksin. “Kita komunikasi dengan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), diarahkan kesini. Baru divaksin dulu sebelum berangkat”

Menurutnya, dari aspek medis hal itu kurang baik, apalagi jika belum divaksin dosis pertama. Saat penyuntikan tahap pertama, antibodi belum terbentuk sempurna, sehingga risiko terpapar Covid-19 sangat besar.

“Dia bisa terkena, karena antibodinya belum terbentuk, dia sudah berangkat kesana – kemari. Untuk pembentukan antibodi biasanya 2 minggu keatas,” terang Rahmadani.

Seperti halnya Rahmadani, Asnianti juga menyaksikan, keberangkatan ke luar daerah merupakan alasan untuk mengikuti vaksinasi. Utamanya dilakukan oleh penduduk lokal.

“Kebanyakan orang lokal yang kesini karena mau berangkat ke luar kota. Karena itu mereka vaksin. Kalo warga pendatang karena kesadaran pentingnya vaksinasi,” paparnya.

“Dan yang vaksin karena mau berangkat. Itu yang paling banyak,” imbuh Asnianti.

Bahkan tak sedikit yang siangnya selesai vaksinasi, sorenya langsung berangkat. “Istirahatnya kurang. Akibatnya badan jadi lemah. Harusnya minimal vaksin 3 hari sebelum berangkat, biar antibodi terbentuk dulu,” jelas Asnianti.

Kebutuhan sertifikat vaksin diakui Joseph Albin Gebze, Sekretaris LMA Kabupaten Merauke sebagai syarat yang tidak bisa ditawar. Semua warga harus mematuhinya agar bisa melakukan perjalan ke luar daerah

Harus ada surat vaksin untuk lintas daerah dan biasanya di titik-titik strategis ada pemeriksaan. “Misalnya di perbatasan, pasti di sweaping disitu,” katanya.

Jika tidak memiliknya, tidak ada cara lain selain kembali. “Harus kembali ke kota. Itu kewajiban jika ingin bepergian antar kabupaten,” ujar Joseph.

Pengalaman PON XX

Saat ini, rata-rata warga yang divaksin di klinik Polres setiap harinya mencapai 100 orang. Jumlah itu menurun drastis jika dibandingkan saat PON XX yang digelar pada 2-15 Oktober 2021.

“Waktu itu, pernah 2 ribu orang dalam sehari. Karena kita kan ada 8 tim, maka tidak ada masalah,” kata Rahmadani.

Warga yang datang vaksin berasal dari beragam wilayah. Ada yang dari Distrik Kurik atau pun daerah lain demi menyaksikan atlet daerah berlaga. “Karena disana (distrik) tidak buka vaksin, mereka datang kesini,” tegasnya.

Asnianti juga punya pengalaman menarik saat PON. Dalam sehari ia menyuntik 300 – 500 orang. “Pernah juga 500. Itu masih konsen. Cuma agak pegal angkat tangan,” katanya.

Warga lokal menunggu angkutan kota usai mengikuti vaksinasi di Klinik Pratama Polres Merauke. Pada saat gelaran PON XX lalu, klinik melayani ribuan warga yang ingin divaksin. (Foto: Jekson Simanjuntak)

Dibandingkan saat ini, Asnianti menilai jumlahnya terbilang rendah, karena idealnya mereka harus menyuntik 200 – 300 orang per hari. “100 orang itu cepat saja vaksinnya.”

Sejak bertugas di klinik Polres selama 7 tahun, baru kali ini Asnianti menyaksikan animo warga yang begitu besar. Meskipun banyak yang takut jarum suntik, demi menonton PON mereka rela divaksin.

“Kita menangani vaksin aman-aman saja. Cuma masyarakat agak takut. Takut jarum suntik,” katanya.

Untuk mengatasi hal itu, Asnianti dan rekannya memberikan pengertian, bahwa disuntik vaksin tidaklah sakit. “Cepat aja kok.  Cuma efek sampingnya mungkin ada. Beda-beda tiap orang yang terima.”

Wakil Bupati Kabupaten Merauke Riduwan menyebut momentum PON XX sebagai ajang untuk menggenjot vaksinasi di Merauke. Tebukti saat itu, capaian vaksinasi diatas 70 persen. (Foto: Jekson Simanjuntak)

Wakil Bupati Kabupaten Merauke Riduwan membenarkan jika momen PON XX, banyak warga yang menonton. Sebagai langkah antisipasi penyebaran Covid-19, penonton diwajibkan memiliki sertifikat vaksin.

“Sesungguhnya memang betul, karena di dalam PON juga berdesak-desakan, dan kita belum tahu apakah ada yang tertular. Karena yang terpapar ini kan tidak kelihatan,” katanya

Atau, bisa juga  ada yang tanpa gejala (OTG) dan terlihat sehat karena imunnya kuat. Namun tetap bisa menularkan. Ketika warga yang menonton telah divaksin, penyebarannya bisa ditekan.

“Walaupun vaksin tidak menjamin untuk tidak tertular, tetapi vaksin bisa membuat imun lebih kuat terhadap serangan Covid-19,” tegasnya.

Itu sebabnya, Riduwan mengimbau masyarakat Merauke untuk menyukseskan semua tahapan vaksinasi. Pasalnya, banyak warga yang tidak melanjutkan vaksinasi tahap kedua.

“Saya berharap yang belum vaksin mari kita vaksin. Karena itu penting untuk diri kita sendiri. Sekaligus untuk mereka yang baru vaksin dosis I bisa ditingkatkan  ke dosis II dan seterusnya,” terangnya.

Situasi ini semakin genting, seiring munculnya varian Covid-19 terbaru, yakni Omicron dengan penyebaran yang sangat cepat. “Kita bisa melindungi masyarakat dari Covid-19 dan seluruh variannya, tentu yang pertama melalui protokol kesehatan, kemudian dengan vaksin itu sendiri,” ujar Riduwan.

Tokoh Agama Katolik Pius Cornelis Manu membenarkan capaian vaksinasi di Merauke sangat tinggi, salah satunya berkat penyelenggaraan PON XX. Banyak warga rela divaksin agar bisa menyaksikan PON dari dekat, meskipun awalnya tadinya takut vaksin. (Foto: Jekson Simanjuntak)

Tokoh Agama Katolik Pius Cornelis Manu tidak menampik fakta bahwa banyak orang rela divaksin mendadak agar bisa menyaksikan PON dari dekat. Padahal tadinya mereka takut vaksin.

“Bagi orang Papua, olah raga itu merupakan gaya hidup. Apalagi yang namanya sepak bola, pasti mereka vaksin ramai-ramai. Apalagi ada tim Papua Putri yang masuk final,” terangnya.

Saking ramainya, jalanan di Merauke dipadati kendaraan dan warga yang berkerumun. “Tidak dapat tempat pun, mereka kelililingi itu stadion dan duduk diatas tembok. Tembok dipenuhi manusia. Tembok berbuah manusia,” kata Pastor Pius.

Uniknya, ketika PON berlalu, banyak yang tidak melanjutkan dosis kedua. Padahal vaksin tahap kedua sama pentingnya untuk membangkitkan antibodi dan membentuk kekebalan kelompok (Herd Immunity).

“Vaksinasi kedua tidak lanjut. Itu demi supaya bisa nonton dan ramai-ramai,” ucapnya.

Warga Tanpa NIK Boleh Divaksin

Dari semua jenis layanan yang ditawarkan, terobosan terbaru klinik Polres adalah melayani masyarakat yang tidak memiliki nomor induk kependudukan (NIK).

“Kita tetap vaksin, dan akan keluar surat keterangan yang menyebutkan bahwa ia telah divaksin,” terang Rahmadani. Sertifikat yang dikeluarkan tidak terkoneksi dengan aplikasi Peduli Lindungi.

Klinik Pratama Polres Merauke melayani vaksinasi bagi warga yang tidak memiliki NIK. Ini merupakan terobosan yang dipilih untuk menjangkau lebih banyak lagi penduduk lokal yang ingin divaksin. (Foto: Jekson Simanjuntak)

Hanya saja, warga tersebut akan didata dan dimasukkan ke dalam sistem khusus yang bersifat manual. Ini dilakukan agar siapa pun bisa melakukan perjalanan dan tidak terbebani dengan sertifikat vaksin.

“Jadi kalo dia mau berangkat kapal atau pesawat, nanti kita koordinasi dengan KKP. Tinggal dilihat nama dan tanggal lahir, untuk memastikan bahwa dia sudah divaksin,” jelasnya.

Kebijakan itu, dijalankan oleh Bid Dokkes Polres Merauke berdasarkan perintah dari Polda Papua. “Tapi sebenarnya itu instruksi presiden, bahwa tidak boleh membatasi masyarakat,” papar Rahmadani.

Diskresi itu dipilih, karena Papua memiliki wilayah luas dan tidak semua penduduk lokal memiliki KTP. Ini juga erat hubungannya dengan menyukseskan vaksinasi.

“Kita tahu sendiri di Papua yang punya KTP tidak semua. Jangan mengahalangi mereka yang mau vaksin,” katanya.

Rahmadani menuturkan, “Awalanya memang sulit, karena dari dinas kesehatan tidak boleh, karena tidak terdata. Tapi takutnya mereka susah jika ingin berangkat.”

Nevile Muskita tidak membantah diskresi itu. Menurutnya, hal itu dilakukan untuk menggenjot vaksinasi meskipun faktanya banyak penduduk lokal tidak memiliki NIK.

“Masyarakat lokal juga banyak yang mau divaksin, tapi terkendala administrasi kependudukan. Makanya saya bilang, dalam sistem dibuatkan diskresi,” ujarnya. Kemudian dibuat fitur khusus untuk mengakses warga yang belum memiliki NIK.

Ide itu mencuat, pasca monitoring dan evaluasi bersama pemerintah provinsi. “Mereka tanya persoalan di daerah dan kita sampaikan bahwa ada kendala besar terkait NIK. Kita mau vaksin, tapi mereka belum punya,” ujarnya.

Selanjutnya warga tanpa NIK tetap divaksin dan datanya dicatat, namun tidak terekam di sistem Peduli Lindungi. “Ini jadi solusi, karena tujuan vaksin adalah untuk semua masyarakat,” ungkap Nevile.

Dilema Bansos

Pastor Pius mengkritisi pemberian bansos untuk menyukseskan vaksinasi. Menurutnya pola-pola seperti itu tidak mencerdaskan masyarakat. Yang harus dibangun adalah kesadaran bersama bahwa vaksin itu perlu dan baik untuk kesehatan.

“Bahwa kita ingin memberi kesadaran pada orang banyak untuk ikut vaksin harus dibayar segala. Harus diberi bantuan seperti ini. Saya hanya bertanya-tanya mengapa itu terjadi,” ujarnya.

Setiap hari Klinik Pratama Polres Merauke melayani 100-150 warga yang hendak mengikuti vaksinasi. Di tahap-tahap awal untuk menggenjot vaksinasi, warga yang datang diberikan bantuan sosial. (Foto: Jekson Simanjuntak)

Jika bantuan diberikan dalam kondisi kedaruratan, Pastor Pius bisa memakluminya. Pada situasi itu, masyarakat biasanya tidak bisa melakukan apa-apa, selain menanti bantuan dari semua pihak.

“Bantuan dalam rangka kondisi darurat dan masyarakat tidak bisa lakukan aktivitas apapun, maka silahkan. Tetapi yang kaitan dengan vaksinasi, betul-betul bagi saya ini konyol,” terang pastor Paroki St Michael Kudamati Merauke itu.

Jika dibiarkan, “Itu semacam, akan banyak hal yang muncul. Misalnya nantinya orang dimanja. Orang tidak punya kepekaan diri.”

Setiap orang harus memahami mengapa vaksin itu penting. “Jangan sampai, kalo saya ikut vaksin, kasih saya dulu. Pas dia kesana dia tidak mau vaksin, karena tidak ada uangnya,” ungkap Pastor Pius.

Selain itu, dia juga mempertanyakan sumber dana bansos, “Ini saya tidak tahu, apakah ini masuk dalam program negara. Jadi saya jadi bingung juga hal seperti itu terjadi.”

Lebih jauh Pastor Pius ingin mendalami urgensi dari pemberian tersebut. Apakah untuk menyukseskan vaksinasi, lalu sejauh mana kepentingannya. “Kan mereka harus refleksi dulu,” ujarnya.

Tak hanya itu, Pastor Pius juga menyarankan agar peran kepala pemerintahan terkecil di kota, seperti ketua RW ditingkatkan. Mereka seharusnya ada di garda terdepan untuk melakukan sosialisasi kepada warga.

“Dalam hal ini kurang berperan banyak. Seolah-olah semua menjadi tanggungjawab para medis atau petugas medis saja,” katanya.

Keterlibatan TNI/Polri

Wakil Bupati Riduwan sangat mengapresiasi pelibatan TNI/Polri dalam kegiatan vaksinasi di Merauke. Menurutnya, Klinik Pratama Polres Merauke sangat membantu, karena mampu bergerak secara sistematis dan kompak dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

“Saya apresiasi terhadap TNI/Polri. Sangat bagus  sekali,” katanya.

Imbauan Bupati Kabupaten Merauke Drs. Romanus Mbaraka, MT dalam menghadapi pandemi Covid-19. (sumber: http://covid19.merauke.go.id)

Masyarakat menjadi sangat terbantu, karena TNI/Polri mampu memberikan perlindungan terhadap seluruh warga negara. Peran mereka diperlukan untuk menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. “NKRI itu harga mati,” tegasnya.

Ketika vaksinasi berjalan lancar dan aman, Riduwan mengatakan, itulah bukti nyata kehadiran TNI/Polri, meskipun secara tupoksi kedua institusi itu berbeda dan tidak bisa disamakan.

“TNI punya fungsi sendiri. Polri juga begitu. Buktinya, Merauke bisa tenteram, rukun, damai dan aman, itu bukti peran dari TNI/Polri,” kata Riduwan.

Sependapat dengan wakil bupati, Nevile Muskita menegaskan bahwa TNI/Polri sangat diperlukan, karena mereka memiliki tim khusus kesehatan. Tim itu yang membantu pemerintah daerah untuk menyukseskan vaksinasi.

“Misalnya detasemen kesehatan di TNI dan Dokkes Polri. Jadi kesehatan disini bukan hanya kesehatan milik pemerintah pusat atau daerah. Tidak. Semua ikut terlibat,” katanya.

Pelibatan bahkan dilakukan sejak awal. Termasuk dengan pendirian sentra vaksinasi di Klinik pratama Polres Merauke, Aula Kodim 1707 Merauke, dan Lapangan apel Mapolres Merauke. Selain itu, vaksinasi puskesmas juga tidak dilupakan.

“Tidak hanya rumah sakit atau puskesmas saja. Tidak. Semua klinik-klinik dari awal kita libatkan,” ungkap Nevile.

Setuju dengan pelibatan TNI/Polri, Pastor Pius menilai dalam program vaksinasi sebaiknya hanya melibatkan tim kesehatan dari dua institusi tersebut.

“Jika di dalam tentara ada kesatuan dokter, biarkan mereka yang terlibat. Mereka yang seharusnya bekerjasama dengan dinas kesehatan setempat,” katanya.

Selain melayani kegiatan vaksinasi, Klinik Pratama Polres Merauke juga melayani pasien umum. Prokes ketat menjadi kewajiban bagi mereka hendak berobat di klinik. (Foto: Jekson Simanjuntak)

Pasalnya, ketika melibatkan TNI/Polri dengan seragam lengkap, Pastor Pius menilai, hal itu kurang elok. “Namanya di seluruh dunia, manusia berloreng itu, orang sudah punya pikiran lain-lain. Apalagi maaf, Papua ini daerah konflik,” ujarnya.

Belum lagi, trauma sosial terhadap militer terus terjadi. Turun temurun diwariskan dan hampir merata di seluruh Papua, termasuk Merauke. Meskipun di Merauke konfliknya cenderung kecil, bukan berarti potensinya tidak ada.

Karena itu, Pastor Pius berpandangan, pelibatan TNI/Polri dalam jumlah besar sangat berpengaruh, khususnya di wilayah-wilayah dengan pengalaman konflik yang berkepanjangan. Tak heran jika di wilayah-wilayah tersebut, capaian vaksinasinya minim. Jika pun ada, kebanyakan dilakukan oleh pendatang.

“Di Merauke ini, pelanggaran HAM seperti yang terjadi di pegunungan tengah, atau kepala burung, sementara ini belum terjadi. Cuma ada rasa takut terhadap aparat akhirnya muncul,” katanya.

Update terakhir di Kabupaten Merauke yang di-publish di website http://covid19.merauke.go.id/. Data tersebut merupakan temuan yang diinput pada tanggal 10 Agustus 2021.

Di satu sisi, minimnya konflik menjadikan Kabupaten Merauke mampu menggenjot vaksinasi, bahkan dianggap sebagai wilayah dengan capaian vaksinasi tertinggi di Papua. Hanya saja, pelibatan TNI/Polri tetap dikeluhkan, karena Merauke merupakan wilayah yang aman.

“Jadi menurut saya, keterlibatan mereka penting, tetapi komisi-komisi yang seharusnya dilibatkan. Saya juga tidak menutup diri untuk keterlibatan mereka, tidak,” tutur Pastor Pius.

Dia menambahkan, “Kami memerlukan mereka. Tetapi kan, ada bidang-bidang yang harus mereka libatkan diri. Jangan sampai itu menjadi efuoria seluruh kesatuan.”

Karena begitu truk-truk TNI/Polri datang untuk mengangkut warga yang akan divaksin, Pastor Pius khawatir, warga merasa tidak nyaman.

“Maaf, saya juga ada anggota keluarga yang tentara loh. Ada polisi, dan saya terbiasa bicara langsung begini.”

Lebih jauh dia menyarankan agar TNI/Polri menanggalkan seragamnya saat berada di tengah masyarakat. Dengan begitu rasa percaya masyarakat akan timbul untuk menyukseskan vaksinasi

“Sebaiknya seorang dokter atau perawat tentara atau polisi menggunakan atribut umum, putih-putih. Jangan seragam. Orang nanti rasa kurang nyaman,” pungkasnya. (bersambung)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *