Jekson Simanjuntak
“Jadi buat apa kita vaksin. Vaksin bagi orang yang keluar daerah terlalu banyak. Kalo masyarakat sini mereka jarang keluar. Mereka cuma keluar cari ikan, kembali makan di rumah,”
MERAUKE, MEDIAJAKARTA.COM – Vaksinasi di Kabupaten Merauke – Papua dibayangi sejumlah persoalan meskipun dikenal sebagai wilayah dengan cakupan vaksinasi tertinggi di Papua. Tingginya cakupan vaksinasi didominasi oleh warga pendatang ketimbang Orang Asli Papua (OAP).
Temuan di lapangan juga membuktikan, kurangnya sosialisasi dan pola kerja vaksinasi telah berdampak terhadap penduduk lokal. Banyak diantara mereka yang belum mendapatkan vaksinasi tahap pertama dan tak sedikit yang gagal mengikuti vaksinasi dosis kedua.
Salah satunya dialami Paustina Itariop Korai (55), warga RT 01/ RW 01 Kampung Tambat, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Papua. Hingga saat ini, Paustina hanya mendapatkan vaksinasi tahap pertama.
Di bulan Juni yang hangat, bersama anak perempuannya, Paustina mendatangi balai kampung yang berjarak 1 Km dari rumahnya. Di tempat itu, vaksinasi dosis pertama dilakukan.
“Total warga yang sudah vaksin ada 10 orang, dan kalau dari lingkungan RT.01 ada enam orang,” katanya.
Vaksinasi tahap pertama dilakukan pada 10 Juni 2021. Sesuai jadwal, vaksinasi tahap kedua direncanakan pada 8 Juli 2021 atau tiga minggu setelahnya. Namun hingga tulisan ini dibuat, vaksinasi tersebut tak kunjung terlaksana.
Paustina yang akrab disapa “Mama Tina” menuturkan, pihak Puskesmas Tanah Miring telah membatalkan vaksinasi secara sepihak. Alasan yang disampaikan selalu berubah-ubah, mulai dari dokter sedang sakit hingga alasan lain yang sulit diterima akal.
Akibatnya Mama Tina kecewa karena penundaan berlangsung hingga tiga kali. “Karena tanggal berikut lagi kami datang. Dari petugas kesehatan, ini masih libur, atau apakah. Tunda! Nanti tanggal sekian, tunda lagi. Maksudnya, tunda-tunda sampai 3 kali, mama tidak mau ikut vaksin lagi. Sudah malas,” ujar Mama Tina yang juga kader Posyandu.
Dia menambahkan, “Tunda yang tiga kali itu, kita su tidak mau ikut lagi. Setelah itu tidak ada informasi lagi soal vaksin.”
Belakangan, beredar informasi yang meyebutkan kegiatan vaksinasi dipusatkan di distrik (kecamatan), atau di kampung-kampung terdekat pada waktu tertentu. Masyarakat dipersilahkan datang.
Bagi Mama Tina, hal itu merepotkan karena ia tidak memiliki kendaraan. Jarak yang jauh disertai tidak adanya angkutan umum menjadi penghalang utama. Kendati demikian, ia yakin, petugas puskesmas pasti kembali ke kampungnya untuk merampungkan vaksinasi. Alasannya, masih banyak warga yang belum divaksin.
“Nanti juga ada petugas datang. Jika datang, kami mungkin bisa ikut. Sementara di tempat lain ada vaksin, tapi mama su tidak mau ikut,” ujar perempuan dari suku Mandobo itu.
Kaur Umum Desa Tambat Samuel Keremba (41) mengamini pernyataan Mama Tina. Menurutnya, masyarakat sempat berharap akan vaksinasi tahap kedua, karena menyadari pentingnya pembentukan antibodi untuk menangkal Covid-19.
“Vaksin pertama sudah. Vaksin kedua ini ada. Jadwal yang mereka kasih kenapa diundurkan?” tanyanya.
Seharusnya, kata Samuel, di tanggal yang ditentukan, vaksinasi dilakukan. “Adanya kendala-kendala seperti itu, akhirnya masyarakat, ‘ah ini kenapa’?” ungkapnya.
Samuel Keremba yang dikenal dengan panggilan “Pak Sam” menegaskan bahwa penundaan dilakukan oleh petugas kesehatan Puskesmas Tanah Miring. “Karena kita bukan salahkan petugas, tapi kita tidak tahu kendalanya seperti apa. Kami juga belum pasti mereka seperti itu,” ucapnya.
Akibatnya, masyarakat yang telah menerima vaksin dosis pertama patah arang. Mereka mundur. “Mereka takut diri, toh! Mengapa vaksin ini tidak sesuai tanggal, mengapa bisa mundur. Itu kan pertanyaan,” jelas Pak Sam.
Sementara merujuk kampung-kampung tetangga (kampung transmigran dengan dominasi suku Jawa) telah melaksanakan vaksinasi secara lancar. Tidak terjadi penundaan, meskipun yang menolak tetap ada.
“Kalo vaksin yang tidak ada, saya pikir tidak. Karena kampung-kampung lain, kita punya jatah. Pasti sudah ada,” ujarnya.
Tak ingin menyalahkan siapaun, Pak Sam menyampaikan, “Kita di kampung hanya tolong dijelaskan, apakah tidak bisa berfungsi, apakah ada kaitannya dengan kekebalan yang berkurang atau tidak?”
Vaksinasi Minimal 10 Orang
Untuk mengonfirmasi kebenaran peristiwa tersebut, penulis mendatangi Puskesmas Distrik Tanah Miring. Disana, Siti Musriani (29) petugas puskesmas menjelaskan bahwa pihaknya pernah ke Kampung Tambat untuk melakukan vaksinasi.
“Kita yang kesana, bukan masyarakatnya yang kesini. Tapi itu sudah. Kita dengan berbagai cara. Bahkan kepala distrik sendiri yang jemput, orangnya tetap tidak datang,” katanya.
Sementara terkait jadwal vaksin tahap kedua yang berubah-ubah, Siti berdalih, jumlah peserta tidak mencapai 10 orang. Termasuk ketika dilakukan penjadwalan ulang, penduduk kampung yang merupakan Orang Papua Asli (OAP) tidak memenuhi syarat jumlah minimal.
Jika peserta tidak sampai 10 orang berakibat mubazir terhadap vaksin yang telah dibuka. “Pas vaksin kedua yang mau cuma 5 orang. Kan, kita harus memperhatikan, karena 1 vial untuk 10 orang. Kecuali ada mendesak, baru boleh buka untuk 8 orang. Tapi, kan, sayang itu,” ungkap Siti.
Pengakuan tenaga kesehatan yang bertugas di puskesmas sejak 2016 itu, hal serupa kembali terjadi. Saat dilakukan penjadwalan ulang, pesertanya tidak mencapai 10 orang.
“Karena anggaran pemerintah untuk 1 ampul sebesar Rp2 juta, itu sama saja merugikan uang negara, jika dibuka cuma-cuma dengan peserta tak sampai 10 orang,” terangnya.
Seandainya Siti memberikan vaksin meskipun jumlah peserta terbatas, “Itu sama saja buang-buang vaksin.” Tidak mungkin ia melaporkan penggunaan vaksin dengan metode demikian dan dipastikan akan ditegur atasan.
“Jadi daripada merugikan yang lain, sekalian tidak usah dulu. Mending yang dari Tambat mencari di kampung mana yang ada kegiatan vaksin. Kan otomatis tetap dilayani,” ucapnya.
Hal senada diungkapkan Catarina Timung (38), tenaga medis yang bertugas di puskesmas sejak 2008. Menurutnya, banyak warga yang menolak vaksin, meskipun puskesmas telah melakukan pola ‘jemput bola’.
“Kemarin itu, memang mereka susah. Kita kesana, kita tunggu berjam-jam juga masyarakatnya tidak datang,” katanya.
Dia juga menjelaskan, perlakuan yang sama diterapkan untuk semua warga, baik warga lokal (OAP) maupun pendatang. Meskipun tidak ada pembedaan, ternyata antusiasme warga transmigran cenderung lebih tinggi. Mereka bersedia divaksin secara sukarela.
“Itu kita lakukan di setiap kampung begitu. Untuk masyarakat Distrik Tanah Miring, khususnya kampung-kampung transmigran, mereka antusiasmenya bagus untuk vaksin,” tegasnya.
Jika warga yang berkumpul mencapai minimal 10 orang, vaksinasi bisa dimulai dengan screening. Mereka yang tidak memiliki riwayat penyakit tertentu, bisa langsung divaksin, sementara yang memiliki penyakit bawaan disarankan menunda vaksinasi.
Ini juga erat hubungannya dengan ketersediaan vaksin. “Itu kan, 1 vial isinya 10 dosis. Jadi sayang kalau cuma kurang yang dipakai,” terang Catarina.
Soal penjatahan vaksin, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke Nevile Muskita menjelaskan bahwa jenis vaksin yang diberikan adalah Sinovac yang dalam setiap vialnya diperuntukkan bagi 10 orang. Setelah melihat efektivitas di lapangan selama ini, ia sedang mengusulkan ke Pemprov Papua agar disediakan vaksin ukuran 1 vial untuk 2 dosis (orang).
“Memang kita lagi mintakan yang 1 vial untuk 2 dosis. Selama ini yang dipakai adalah ukuran 1 vial untuk 10 orang,” katanya. Akibatnya, vaksinasi dimulai ketika pesertanya minimal berjumlah 10 orang.
Jika vaksin dibuka, sementara pesertanya kurang dari 10 orang berpotensi menyebabkan kerusakan vaksin. Karena itu Nevile beranggapan, vaksin dengan 2 dosis sangat diperlukan, utamanya di kampung-kampung lokal.
“Sehingga 2 orang datang bisa langsung disuntik, tidak perlu tunggu 10 orang. Karena untuk vaksin 10 orang terkadang nunggunya lama,” terangnya.
Belum Divaksin
Bruno Kimbinaka (65) Warga RT.01/RW.01 Kampung Tambat, Distrik Tanah Merah sedang bersantai di teras rumahnya. Siang itu, ia baru selesai beres-beres. Bruno merupakan salah satu warga yang menolak vaksin karena alasan kesehatan dan kepercayaan.
Riwayat Asma yang dideritanya dalam 12 tahun terakhir, membuat Bruno sulit bernafas. Masyarakat setempat menyebutnya “nafas pendek”. Penyakit itu membuatnya tidak bersedia divaksin.
“Itu sakit tahunan dan termasuk budaya punya. Jangan sampai, saya punya sakit sudah lama ini takut lagi. Jangan sampai vaksin malah memusnahkan kita,” katanya.
Bruno menegaskan, penolakan vaksin dilakukan atas kesadaran sendiri. Tidak ada yang mempengaruhi. Dia beranggapan, takdir seseorang ditentukan oleh Tuhan, bukan oleh vaksin.
“Dan saya punya kesukaan sendiri. Jangan sampai, dari vaksin dia tambah, Tuhan tarik kita pulang kah. Saya takut. Bukan ada orang paksa. Tidak,” tegasnya.
Keteguhan hatinya diperkuat pemahaman bahwa vaksin berbahaya bagi penderita Asma. Itu sebabnya, ia tidak ingin coba-coba.
“Tidak ada yang orang omong, apalagi pendeta, karena mati dan hidup ada di tangan Tuhan. Karena itu sampai dibatas mana dengan penyakit ini, sampai dimana, sudah. Tidak boleh tambah-tambah sampai saya cepat begitu. Itu saya yang tidak mau,” terang pria asal suku Mandobo itu.
Berbeda dengan Bruno, Ketua RT 01 Kampung Tambat Nicolaus Bunoujo mengaku tertarik untuk divaksin. Namun sayang, ia lupa jadwalnya, sehingga batal divaksin
“Memang ada, sudah terlambat. Itu bersamaan dengan ibu Paustina, tetapi waktu itu saya tidak datang,” katanya.
Pagi itu, Nicolaus terlalu asik bekerja di kebun sehingga lupa tanggal vaksinasi. Ia lalu mencari tahu tentang kemungkinan vaksinasi susulan. Oleh aparat kampung, ia disarankan mengikutinya di kampung sebelah (kampung transmigran). Jika belum sempat, ia diminta bergegas ke kantor Distrik Tanah Miring.
“Sempat hari itu, saya jalan ke atas (balai kampung), ternyata vaksinnya di kantor distrik. Saya mau bagaimana, saya tidak punya kendaraan. Akhirnya saya kembali,” paparnya.
Sejak saat itu, dia tidak mendapatkan informasi apapun soal jadwal vaksinasi. “Saya keinginan ada untuk vaksin. Setelah itu tidak ada informasi sama sekali sampai sekarang,” ujarnya lirih.
Nicolaus berpandangan vaksin baik untuk kesehatan. Itu sebabnya, jika vaksinasi kembali diadakan di kampung, dipastikan ia akan ikut. Ia ingin menjadi panutan bagi warganya.
“Tapi itu sudah, memang kan belum ada informasi, karena kalau mau vaksin biasanya ada jadwal, baru bisa ikut. Bahkan di distrik, saya belum dengar infonya. Mungkin belum ada,” ucapnya.
Beberapa minggu kemudian, Nicolaus dan ketua-ketua RT dipanggil oleh kepala kampung. Mereka dikumpulkan terkait pelaksanaan vaksinasi.
“Hari itu kami dipanggil, suruh ikut vaksin. Tahu-tahu kita kesana ditunda. Itu diadakan di kantor kampung sekitar Juni – Juli,” katanya.
Hoaks & Minimnya Sosialisasi
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Nicolaus bercerita tentang pemahamannya tentang vaksinasi. “Yang saya tahu soal vaksin, saya juga kurang banyak tahu,” ungkapnya.
Informasi tentang warga yang meninggal usai divaksin berkembang luas di masyarakat. Bahkan di Kampung Tambat yang jaraknya 58 Km dari pusat kota Merauke, informasi itu berkemang cepat. Peredarannya dari mulut ke mulut.
“Soal ada yang meninggal karena vaksin itu juga cerita ke cerita. Akhirnya banyak warga yang awalnya mau ikut, tapi karena mereka itu dengar, ya sudah, tidak ikut,” ujar Nicolaus yang baru menjabat Ketua RT 01 dalam setahun terkahir.
“Dari pada kita sebentar pulang, kita langsung mati. Itu akhirnya warga jadi ragu. Ah tidak usah ikut.”
Cerita itu menurut Nicolaus, berkembang hingga ke kampung-kampung tetangga. Untuk menangkal kabar tersebut, ia berharap pemerintah bergerak cepat melakukan sosialisasi dan turun ke kampung-kampung.
“Selama ini tidak ada (sosialisasi). Jadi murni inisiatif kampung saja,” ucapnya.
Infomasi hoaks soal vaksin, diakui oleh Samuel Keremba. Menurut Kepala Kampung Tambat terpilih itu, warga memilih tidak ikut vaksin, karena terpengaruh kabar bohong.
“Seperti itu juga terjadi di kampung-kampung tetangga. Mereka yang merupakan kampung trans, ada yang mau ikut dan tidak juga. Tidak semua,” katanya.
Sementara bagi penduduk lokal, Samuel mengatakan, “Macam kita di Papua, mereka berpikir begini, kami kan tidak keluar. Tetap di kampung saja.”
Penduduk lokal yang lebih banyak beraktivitas di dalam kampung, memunculkan kesadaran komunal bahwa mereka tidak membutuhkan vaksin. Fakta juga menunjukkan, warga yang terpapar Covid-19 kebanyakan pendatang, bukan penduduk asli Papua.
“Jadi buat apa kita vaksin. Vaksin bagi orang yang keluar daerah terlalu banyak. Kalo masyarakat sini mereka jarang keluar. Mereka cuma keluar cari ikan, kembali makan di rumah,” terangnya.
Samuel juga mengamini, sosialisasi tentang vaksin belum diketahui secara baik oleh warga. Meskipun pernah dikumpulkan oleh kepala distrik, mereka tidak memahami dampak buruk vaksinasi.
“Kami disini, pernah didatangi oleh gugus covid-19. Mereka cuma arahkan saja bahwa besok vaksin. Jadi tidak dijelaskan dampaknya bagaimana. Tidak,” tegasnya.
Metode sosialisasi yang dilakukan hanya bermodalkan mobil keliling. “Tim itu datang pakai radio. Itu hanya sebatas informasi, terus mereka keluar.”
Padahal bagi penduduk lokal yang jauh dari kota, mereka sangat membutuhkan informasi detil, seperti tujuan vaksinasi dan siapa saja yang boleh mengikuti. Termasuk, apakah penderita Asma dilarang vaksin.
“Namanya kita orang lokal, kita belum terlalu paham kesitu. Kita mungkin sering ke dukun, tapi yang seperti ini kami belum terlalu. Jadi masyarakat yang tertarik, kita ajak ikut. Tapi orang-orang tua, mereka tidak,” ujarnya.
Bahkan ketika aparat desa berkunjung ke Distrik Tanah Miring, Samuel mengaku, belum mendapatkan jawaban yang diinginkan. Akhirnya, informasi tambahan mereka cari sendiri, baik melalui media sosial ataupun dari cerita ke cerita.
“Kita tahu vaksin, tapi penjelasannya, kita cari tahu sendiri. Karena sebagai aparat kampung harus memberikan contoh kepada masyarakat, sehingga masyarakat mau divaksin,” kata Samuel.
Minimnya sosialisasi juga dikeluhkan oleh Mama Tina. Sebagai penggerak PKK, ia tidak mendapatkan informasi lengkap tentang vaksinasi, baik dari tim gugus Covid-19 maupun dari petugas puskesmas. Bahkan pemerintah distrik tidak pernah datang ke kampung. Yang muncul justru inisiatif dari masing-masing kepala kampung.
“Sebelum vaksin, tidak ada sosialisasi dari kesehatan pemerintah (distrik). Kalo dari kampung ada dan itu inisiatif mereka,” jelasnya.
Sosialiasai menurut Mama Tina sangat penting, karena dengan begitu warga bisa paham tentang vaksinasi. Uniknya, peran itu justru diambil alih oleh aparat kampung.
Aparat kampung sengaja melakukannya, “Karena dengar dari distrik waktu mereka mendapatkan vaksin, terus disampaikan lagi ke masyarakat. Itu inisiatif murni kampung.”
Alasan Menolak Vaksin
Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Merauke Joseph Albin Gebze mengatakan, pandemi Covid-19 telah mendorong perubahan besar. Salah satunya terkait vaksinasi. Hal itu berdampak luas di Papua, ketika semua warga diwajibkan ikut.
Khusus di Merauke, Joseph melihat, program vaksinasi lebih didominasi oleh pendatang. Itu didasarkan atas kebutuhan agar bisa melakukan perjalanan keluar daerah. Jangan heran jika menyaksikan pendatang ramai-ramai ke sentra vaksinasi.
Pun, sudah rahasia umum, kehadiran pendatang di Merauke dengan beragam bidang pekerjaan memiliki proporsi yang lebih besar ketimbang penduduk lokal.
“Sebagian besar itu kalangan ASN, pelaku usaha, penerbangan, transportasi, itu harus wajib vaksin. Mereka mengikuti aturan, jadi harus ada sertifikasi vaksin,” katanya.
Sementara bagi masyarakat asli Merauke yang dikenal sebagai suku Malind tidak demikian. Mereka yang tersebar di wilayah seluas 46.791,63 Km persegi dengan luas perairan 5.089,71 Km persegi itu enggan divaksin.
“Kami ini Animha atau manusia sejati. Itu yang nomenklatur resminya disebut Malind,” jelas Joseph.
Malind merupakan suku yang menjadi tuan rumah di tanah datar Papua. Mereka menghuni empat penjuru mata angin dengan tujuh marga besar, yakni Gebze, Kaize, Samkakai, Ndiken, Mahuze, Bragaize, dan Basik-basik.
Keberadaan suku Malind masih ditemukan di sejumlah lokasi di Merauke. Mereka tersebar di beberapa kampung lokal, seperti Kampung Duti, Kampung Masem, Kampung Waso. Juga sebagian besar di Gudang Arang, Basis Mangga Dua hingga kampung wilayah Kuda Mati,
“Lokasinya masih masuk Merauke, tetapi sudah di sudut-sudut pinggiran kota,” katanya.
Joseph menjelaskan, sebagian besar masyarakat lokal tidak mengikuti vaksinasi. “Karena mungkin, faktor mereka tidak beraktivitas keluar daerah. Lalu isu-isu yang mengganggu konsentrasi masyarakat bahwa harus vaksin atau tidak,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Kita lihat di media sosial banyak tentang vaksin ini, vaksin itu. Karena ada sampai yang terburuk itu meninggal. Itu isu berjangkit di masyarakat. Jadi muncul shock therapy.”
Akhirnya, penduduk lokal lebih berpedoman kepada ajaran agama. Mereka mengutamakan berdoa ketimbang di vaksin. Ditambah lagi, mereka terpapar kabar bohong yang beredar cepat.
“Apalagi kita di Papua, khususnya di Merauke, orang lebih dengar baku cerita. Itu lebih didengarkan daripada kita ikut aturan. Aturan memang mengharuskan. Apalagi mereka melihat bukti, isu kejadian jatuh begitu, orang sudah tidak mau,” terangnya.
Atas dasar itu, LMA Kabupaten Merauke mencoba mengambil peran, ketika Dinas Kesehatan Kab. Merauke mengajak mereka. Di beberapa kesempatan, seperti seminar dan pertemuan, Joseph menjelaskan tentang pentingnya vaksinasi.
“Kami memberikan applause dan dukungan, bahwa ini wajib. Ini kan sama dengan imunisasi campak atau polio. Cuma mungkin karena derasnya Covid-19 saat itu, so terlanjur disebut vaksin, ini dibawa sampai dijadikan hoaks,” papar Joseph.
Saat ini, populasi penduduk lokal di Merauke (suku Malin) sebanyak 65 ribu jiwa. Jumlahnya kalah jauh dengan pendatang yang mencapai 150 ribu orang. Dengan demikian bisa dipastikan angka vaksinasi terhadap penduduk lokal sangat sedikit.
“Jadi jika ditotal, orang asli Papua yang sudah divaksin sekitar 30 ribuan dari pesatnya vaksin sejak tahun pertama,” katanya.
Imam dari kantor keuskupan di Merauke Pius Cornelis Mano membenarkan adanya penolakan vaksin. Menurutnya, penduduk lokal tidak ikut vaksinasi disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, mereka beranggapan Covid-19 bukan untuk mereka, karena itu tak perlu divaksin. Terbukti, jumlah warga yang meninggal akibat Covid-19 kebanyakan pendatang.
“Kami punya daya tahan tubuh kuat. Sehingga yang tergerak hati untuk vaksin dari orang asli Papua (OAP) sedikit orang. Tetapi menurut saya, ketika diberi penjelasan yang betul, mereka pasti tersadar untuk vaksin,” kata Pastor Paroki St. Mikhael Kudamati itu.
Dugaan tersebut dikuatkan dengan pengamatan Pastor Pius di tempat permakaman umum (TPU) saat melayani penguburan jemaat atau sekedar mengadakan refleksi tentang kehidupan.
“Disitulah saya liat nama-nama. Sebagai orang asli papua, saya tahu orang papua dan pendatang. Dari situ saya bisa perkirakan bahwa yang lebih banyak meninggal bukan orang asli papua,” ujarnya.
Ia tidak menampik adanya penduduk lokal yang meninggal akibat Covid-19, tetapi perbandingannya sangat sedikit. “Hanya saya tidak bisa prosentasekan secara pasti, namun saya lihat nama asli papua itu jauh lebih sedikit ketimbang pendatang,” katanya.
Kedua, munculnya berita simpang siur, baik dari media sosial maupun dari mulut ke mulut. “Ini saya kira tidak bisa dipisahkan, bahwa dari media sosial pasti berdampak pada mereka bercerita kesana kemari,” tegas Pastor Pius.
Contoh nyata terjadi di Kampung Mopalama, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke. Ditemukan kasus orang meninggal, setelah divaksin dua hari sebelumnya. Korban meninggal usai minum kopi.
“Dia itu pendatang, orang Makassar. Nafasnya terganggu setelah minum kopi dan kemudian meninggal. Sebelumnya dia baik-baik saja,” katanya.
Pagi sebelumnya, korban masih membajak sawah. “Setelah itu meninggal karena minum kopi tua (kental) sekali. Menurut saya, dia mungkin meninggal karena kopi, bukan karena vaksin,” ujarnya.
Pastor Pius beranggapan, korban minum kopi sebelum perutnya terisi dengan makanan. Akibatnya penyakit maag (Gerd)-nya kambuh. “Mungkin dia meninggal karena itu.”
Informasi model begitu gampang menyebar di Merauke. Dimulai dari mulut ke mulut, lalu berkembang hingga beragam versi yang sulit diverifikasi kebenarannya “Itu bisa terjadi seperti itu,” ucapnya.
Kisah lainnya, ada warga yang meninggal usai divaksin. Usut punya usut, korban diketahui memiliki riwayat Malaria. Orang banyak tidak mengetahui hal itu, namun terlanjur menyebar, meninggal karena vaksin.
Merauke sendiri merupakan wilayah dengan penyebaran penyakit malaria tertinggi. Menurut Pastor Pius, seharusnya ada pemeriksaan (screening) terkait penyakit bawaan seperti Malaria.
“Kira-kira mereka yang akan divaksin ini, apakah sudah bebas malaria. Nah itu, Hal itu dilakukan, tapi yang ini, mungkin tidak,”
Ketiga, ada kaitannya dengan tujuan tertentu. Tujuan menyebarkan hoaks yang tidak disadari masyarakat dan sengaja dihembuskan secara sistematis. Hal itu tentu sangat menyesatkan.
“Tapi ada juga yang sifatnya menipu. Lagi mereka membuat cerita-cerita yang sebenarnya karangan. Maka cerita itu pun beredar dari mulut ke mulut,” terangnya.
Pastor Pius kemudian mengajak masyarakat untuk lebih berhati-hati, termasuk bijak dalam bermedia sosial. Khusus penduduk lokal, ia bisa memahami mengapa informasi dari mulut ke mulut cenderung porsinya lebih besar.
“Jadi ada banyak penyebab yang membuat orang tidak tertarik vaksinasi. Selain itu, orang disini juga sering bersikap malas tahu atau acuh tak acuh,” katanya.
Penjelasan Pemerintah
Nevile Muskita menjelaskan, cakupan vaksinasi Covid-19 di Kabupaten Merauke untuk dosis pertama telah mencapai 101 ribu lebih atau setara 81%. Sementara tahap kedua sebanyak 77ribu orang atau 61%, sebagaimana data masuk per 13 Desember 2021.
Mereka yang divaksin kebanyakan warga pendatang. “Jika kita lihat proporsi penduduk Merauke kebanyakan pendatang, angkanya sekitar 40% untuk lokal dan 60% pendatang,” katanya.
Saat ini, cakupan vaksinasi tertinggi ada di Kota Merauke, karena jumlah penduduknya paling banyak. Sementara di distrik-distrik dengan mayoritas penduduk lokal, cakupannya sangat rendah.
“Angka vaksinasinya minim karena banyak yang menolak. Misalnya di Distrik Okaba dan sekitarnya. Kampung-kampung lokal itu masih termakan isu-isu negatif terkait vaksinasi,” terangnya.
Untuk mengatasi hal itu, Nevile mendorong hadirnya keteladanan di masing-masing kampung. Hal itu terbukti di sejumlah kampung di Distrik Muting. Setelah kepala kampung divaksin, banyak warga lokal yang mengikuti.
“Makanya kemarin di Muting saya bilang, yang penting selain sosialisasi adalah keteladanan. Jika kepala kampung belum divaksin, maka menjadi sulit dan masyarakat tidak mengikuti. Demikian juga dengan tokoh adat dan tokoh geraja,” paparnya.
“Seharusnya ada peran dari tokoh-tokoh kunci untuk bisa menjadi contoh. Karena dampaknya menurut saya lebih luas dari sekedar sosialisasi,” imbuhnya.
Terkait munculnya keluhan yang menyebut minimnya sosialisasi ke masyarakat lokal, Nevile membantahnya. Menurutnya hal itu merupakan alasan klise, karena petugas kesehatan selalu standby di puskesmas dan bisa digerakkan kapan saja.
“Tidak adanya sosialisasi merupakan alasan yang dibuat-buat, karena petugas pasti siap saja. Siapa warga yang mau vaksin, mereka siap melayani. Tapi yang terjadi, kebanyakan warga tidak berani vaksin karena termakan hoaks,” jelasnya.
Bahkan hingga distrik terjauh, petugas kesehatan selalu setia melayani, setelah kepala kampung mengumpulkan warganya. “Semua tetap melalui kampung dan teman-teman puskesmas turun ke kampung-kampung itu,” kata Nevile.
Sementara terkait maraknya hoaks, Nevile berpendapat, semua itu tergantung dari masyarakat. Mereka bebas memilih akses berita yang positif atau negatif.
“Kan begitu. Dimana-mana berita tentang vaksin yang positif ada. Tapi jika dia termakan berita negatif, maka susah. Justru hoaks ini adanya di medsos,” ujarnya.
Media sosial (medsos) sifatnya sangat personal. Itu sebabnya, yang memiliki otoritas yang seharusnya memilih. “Jika disuruh memilih, kita tidak punya otoritas. Paling hanya kita bisa counter. Itu tergantung orang mau percaya yang mana,” terang Nevile.
Jika masyarakatnya cerdas, mereka akan mencari tahu kebenaran sebuah peristiwa melalui kanal-kanal resmi. Melalui laman https://www.kemkes.go.id/ misalnya.
“Di Kemkes ada informasi soal hoaks, seharusnya bisa diakses masyarakat. Itu tinggal dibuka saja websitenya,” katanya.
Khusus Kampung Tambat yang belum menerima vaksinasi tahap dua, Nevile berjanji akan menyelidikinya. Ia tidak akan percaya begitu saja terhadap informasi yang diterima.
“Nanti saya akan konfirmasi ke puskesmas terdekat. Kalo saya orang tidak pernah hanya dengar berita dari satu pihak. Makanya tetap saya harus konfirmasi dulu ke Puskesmas,” paparnya.
Oleh sebab itu, Ia memastikan pemerintah sangat peduli terhadap warganya. Pemerintah telah berusaha agar pandemi ini segera berlalu, sehingga bisa kembali beraktivitas normal seperti sebelumnya.
“Pemerintah tidak akan mungkin menyengsarakan rakyatnya. Itu saya kira prinsip. Apalagi di masa pandemi sekarang ini, jika banyak yang belum divaksin, maka dia akan sangat rentan untuk tertular dan berisiko menghadapi level yang berat, karena belum punya anti bodi,” paparnya.
Dengan semakin tinggi mobilitas seseorang, maka semakin rentan dan besar risikonya untuk tertular. “Itu prinsip sederhana saja sebenarnya,” kata Nevile. (bersambung)