JAKARTA, MEDIAJAKARTA.COM –Public Figure Cinta Laura Kiehl mengatakan kebhinnekaan menjadi identitas yang harus dipertahankan. “Itu yang membuat Indonesia jadi menarik. It’s diversity,” ujarnya di sesi diskusi Membangun Karakter Bangsa di Era Digital.
Saat ini, banyak konten digital tidak mencerminkan keberagaman. Menurut Cinta Laura, dunia digital harusnya memberikan value bagi anak muda. “Yang kita lihat, konten viral sekedar lucu-lucuan, tidak ada value. Sehingga penting menginternalisasi kebhinnekaan agar mereka jadi warga negara yang baik,” ungkapnya.
Cinta Laura menjelaskan, ada term baru tentang the individualization di ruang digital, sehingga seseorang bisa bersembunyi. “Kita lupa punya identitas sendiri, sehingga dunia digital menjadi toxic, dimana mereka bisa intoleran, sebar hoaks. Ini sangat berbahaya,” ujarnya.
Senada dengan itu, Deputi Bidang Pengendalian dan Evaluasi BPIP Rima Agristina menegaskan, kebhinekaan menjadikan kita hidup dengan harmonis, berdampingan tanpa memandang perbedaan.
“Nilai yang membawa gen-Z lebih maju, lebih baik memandang kebhinnekaan. Itu tujuan kita”, katanya.
Dirjen Aptika Kominfo Samuel A. Pangerapan tidak menampik jika ruang digital memunculkan tantangannya sendiri. “Mereka lupa, ruang digital memiliki realitas sendiri,” ujarnya.
Begitu ada ruang baru, seolah-olah itu ruang hampa. Padahal ruang digital terintegrasi dengan ruang fisik. “Jadi apa yang dilakukan di ruang fisik, seharusnya terefleksikan di ruang digital,” ungkapnya.
Tanpa Batas
Samuel menjelaskan, ruang digital memungkinkan semua orang memiliki kesempatan yang sama, baik bersifat positif maupun negatif. Ruang digital tidak ada batasnya. “Sehingga bagaimana mengendalikan ruang ini, tergantung kita,” katanya.
Ketika membiarkan perilaku negatif di ruang digital, berarti membiarkan ruang tersebut diisi dengan sampah. “Padahal di rumah kita, jika ada sampah pasti buru-buru disingkirkan,” paparnya.
Karena itu, Samuel menekankan tentang tanggungjawab, dimana ruang digital harus dijaga, layaknya saat berada di ruang fisik. Karena ruang digital menjadi realitas baru, dan ada implikasi hukum disana.
“Apa yang dilakukan di ruang digital sama sahnya di hadapan hukum. Jadi kita tidak bisa mengelak,” tegasnya.
Digital Nation
Saat ini, Indonesia sedang bertransformasi menuju Digital Nation. Tiga pilar penting disiapkan. Pertama, pemerintahan digital dimana layanan dilakukan secara digital. Kedua, masyarakat digital dimana semua orang menjadi lebih produktif. “Selama ini masyarakat kita menjadi market, korban hoaks, karena tidak paham ruang digital,” terang Samuel.
Terakhir, ekonomi digital, ditandai dengan pertumbuhan pesat transaksi digital. Bahkan Presiden Jokowi memperkirakan transaksi digital kita menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dalam 10 tahun ke depan.
Wakil Kepala BPIP Prof. Hariyono tidak menampik jika SDM sebagai faktor terpenting dalam membangun karakter bangsa. Baginya, nasionalisme sebagai sikap yang harus dikembangkan.
Hari-hari ini, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa tidak berhenti pada tataran pidato, namun menjadi laku hidup. “Setiap penyelenggara negara dan masarakat punya tanggungjawab bagaimana semboyan itu diaktualisasikan di kehidupan sehari-hari,” ungkapnya.
Karena itu, memahami perbedaan sangat relevan dalam konteks kekinian. Setiap generasi muda harus menyadari bahwa Pancasila sejak awal bukan saja sebagai pemersatu, namun membawa perubahan sikap.
“Apa yang disampaikan Bung Karno, Pancasila sebagai meja statis, harapannya menyatukan semua elemen bangsa,” katanya.
Proses membangun karakter yang inklusif diperlukan demi terwujudnya persatuan. Itu akan membebaskan dari mental inlander dan inferior. “Sehingga bhinneka tidak berhenti pada toleransi, namun dibuktikan di kehidupan sehari-hari,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)