Memahami Keberagaman dan Toleransi di Papua

Indonesia News Terkini

JAKARTA-MEDIAJAKARTA.COM –Postdoctoral Fellow dari Georgetown University Veronika Kusumaryati menyebut isu Papua sangat kompleks. Sulit bagi yang belum pernah kesana bicara tentang keberagaman, apalagi memahami toleransi di Papua.

Bicara keberagaman harus dimaknai dari konsep budayanya. Ini penting, karena sejarah Papua berbeda dengan Indonesia yang tidak disatukan oleh imperial seperti Majapahit.

Papua merupakan 1.14% dari seluruh populasi Indonesia dan luasnya 23% dari teritori Indonesia, sehingga tanpanya kita kehilangan besar. Papua juga punya 264 bahasa daerah yang memiliki sifat pengetahuannya sendiri, tidak hanya cara berkomunikasi, namun juga pengetahuan (alam, tanaman, hewan, landscape, dll).

“Ada hubungan dinamis antara lingkungan dan budaya yang dimasukkan ke dalam pembagian wilayah adat,” ungkap Veronika.

Budaya sendiri merupakan seperangkat asumsi, nilai dan kepercayaan sekelompok orang dan mengilhami kehidupan mereka sehari-hari. Budaya memberikan fungsi lain; membedakan setiap kelompok. Budaya sangat dinamis dan terus berubah.

Veronika Kusumaryati mahasiswa S-3 di dari Georgetown University yang banyak meneliti tentang Papua. (foto: Jekson Simanjuntak)

Perbedaan Ras

Ras merupakan sistem klasifikasi manusia yang dikonstruksi secara sosial untuk mengelompokkannya berdasarkan karakteristik fenotip. Pengelompokan dibuat berdasakan penjelasan biologi, sehingga dibedakan atas warna kulit, tekstur rambut, ukuran kepala. Selain itu, pengelompokan didasarkan atas penjelasan kebudayaan; sifat-sifat, peradaban, dll.

Kategori ras juga berubah. Dulu orang Afrika disebut negroid, kemudian negro, hingga menjadi African. “Jadi kategorinya terus berkembang,” ujarnya.

Lalu mengapa rasisme menguat? Itu didukung oleh kekuatan politik dan ekonomi. Diskursus tentang ras muncul ketika Belanda membagi 3 kelas; kulit putih, orang asing Asia (Tionghoa, Arab) dan pribumi.

“Kategori itu tidak netral,” kata Veronika. Ini menjadi masalah ketika kenyataannya manusia berbeda, meskipun berasal dari Afrika. Karena ada yang rambutnya lurus, kriting dan bentuk fisik dilekatkan pada karakter budaya.

Siapakah Orang Papua? (sumber: Veronika Kusumaryati) 

Rasisme

Rasisme adalah doktrin yang mempercayai manusia dikelompokkan ke dalam ras dan ras menentukan sifat dan kapasitas kelompok ras itu. Rasisme membawanya satu level keatas, dimana terjadi pembagian hirarki.

Rasisme dipahami dalam konteks individual, situasional dan struktural sistematis. Struktural sistematis kerap memunculkan stigma (lebel negatif). Misalnya soal pribumi malas. Stigma juga direproduksi oleh buku, ilmu pengetahuan (antropologi) dan kebijakan kolonial.

Juga muncul Stereotip, kepercayaan terhadap sifat umum suatu kelompok, bersifat rigid, menggeneralisasi sehingga satu kelompok dianggap bertingkah sama.

Orang Papua menghormat bendera. (foto: Jekson Simanjuntak)

Rasisme memunculkan diskriminasi, perlakuan tidak adil terhadap kategori orang tertentu. Bisa berdasarkan jenis kelamin, etnisitas, agama, ras, disabilitas dan kelas.

Di masa kolonial, ada pembagian sekolah khusus pribumi. “Itu sama dengan mahasiswa Papua di Yogyakarta yang kesulitan mendapatkan kos. Ini diskriminasi,” kata Veronika.

Kemudian rasisme menguat dan terus terjadi, sehingga akrab dalam keseharian. “Akibatnya, rasisme dianggap biasa saja,” ujarnya.

Secara kelembagaan, rasisme diinstitusionalisasi ke dalam ideologi supremasi. Di Amerika terkenal supremasi orang kulit putih, di Papua supremasi pendatang.

Persoalan ras juga menyasar pembangunan, sehingga masuk kategori daerah tertinggal. “Bahkan angka harapan hidup, kemiskinan, kematian ibu/bayi, malaria, AIDS, Stunting sebagai yang terburuk,” ungkap Veronika.

Pembangunan tidak sensitif, dalam arti geografi, budaya dan komposisi ras. Terbukti dari fasilitas kesehatan. “Siapa disitu? Pendatang, bukan orang Papua,” katanya.

Orang Papua melihatnya sebagai kejadian terstruktur dan ditujukan kepada mereka. “Ini diskriminasi, walaupun pemerintah tidak sengaja melakukannya,” terang Veronika.

Lalu mengaitkannya dengan potret keberagaman untuk menggugah semangat toleransi tidak mudah. “Kita perlu menghapus rasisme, diskriminasi dan kekerasan di Bumi Cendrawasih,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *