JAKARTA, MEDIAJAKARTA.COM — Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim mengatakan, selama bulan Maret sampai Juni 2021, survei AJI menunjukkan bahwa banyak lembaga publik sudah menyediakan informasi publik.
“Angkanya cukup tinggi yaitu 98,4%,” kata Sasmito dalam Diskusi Publik Diseminasi Riset Pemetaan Keterbukaan Informasi secara daring, Senin (2/8/2021).
Tetapi jika diukur apakah sudah memenuhi semua kelengkapan informasi publik yang harus ditampilkan, maka hanya 18,1% lembaga publik yang sudah memenuhi.
“Hasil ini memprihatikan, mengingat UU Nomor 14 tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik telah dilaksanakan sejak tahun 2010 namun tidak ada kemajuan yang signifikan,” ujarnya.
Sasmito menegaskan survei terkait keterbukaan informasi publik sangat penting dilakukan, salah satunya sebagai strategi advokasi kebijakan. Sehingga, bisa menjadi dorongan pemerintah secara lebih efektif dalam menentukan kebijakan.
Meskipun sudah 13 tahun lalu sejak UU ini disahkan dan ada jeda waktu sekitar 2 tahun untuk persiapan implementasi, keterbukaan informasi publik hingga tahun 2021 masih banyak catatan.
“Masih belum banyak lembaga publik yang memberikan informasi publik secara berkala,” ujar Sasmito.
Salah satu peneliti, Mawa Kresna, mengatakan survei ini dilakukan selama periode 25 Maret hingga 25 Juni 2021 dengan melibatkan 46 enumerator yang berasal dari kalangan jurnalis dan meliputi 34 provinsi di Indonesia. Total ada 182 lembaga publik yang menjadi sampel, yaitu 130 pemerintah provinsi, kota/kabupaten dan dinas, 39 kementerian dan lembaga negara, 7 lembaga tinggi negara, dan 6 lembaga non pemerintah. Survei juga mengikutsertakan Komisi Informasi di 24 provinsi.
Pengukuran dilakukan berdasarkan jumlah rata-rata 3 komponen survei, yaitu proactive disclosure, institutional measure, dan processing request. Analisis dilakukan dengan membagi penilaian dalam 3 kategori, yaitu nilai rata-rata 67 sampai 100 (warna hijau), 34 sampai 66 (warna kuning) dan nilai 0 sampai 33 (warna merah).
“Sebanyak 44.2% lembaga publik yang disurvey menerapkan hanya sebagian, 37% menerapkan kurang dari sebagian, dan 18.8% hampir memenuhi seluruh dari indikator keterbukaan informasi publik,” ungkap Kresna, Senin (2/8/2021).
Ada lima skala penilaian yang digunakan, yaitu penuh (100%), sebagian penuh (75%), sebagian (50%), kurang dari sebagian (25%), dan tidak sama sekali (0). Dari 182 lembaga yang disurvei 18.1% sudah melakukan tindakan secara penuh untuk mendukung keterbukaan informasi.
Tindakan lembaga publik yang dilakukan dalam pemenuhan keterbukaan informasi adalah penyediaan pejabat PPID (Pejabat Penyedia Informasi dan Data), pelatihan bagi PPID, tata cara dan fasilitas pengajuan informasi publik, serta perencanaan terkait pemenuhan informasi publik.
“Dari 182 lembaga yang disurvei hanya 94 lembaga yang memiliki pejabat khusus PPID, dan hanya 65 lembaga yang mendapat pelatihan terkait pelayanan PPID dan keterbukaan informasi publik,” lanjut Kresna.
Peneliti lainnya, Mustakim menjelaskan bahwa survei dilakukan dengan permintaan data-data yang semestinya bisa diakses publik. Seperti, hasil tender, risalah rapat, hingga laporan keuangan.
“Itu dokumen publik, tapi masih ada pengelola informasi ini masih banyak yang menganggap sebagai dokumen rahasia negara,” ujarnya.
Jika dirinci, ada beragam alasan penolakan permohonan informasi publik di antaranya, dokumen kontrak tender rahasia negara, harus adanya disposisi, data tidak tersedia dan dicurigai LSM yang ingin mencari buruknya pemerintah. Sementara alasan pemohon tidak dapat mengajukan informasi publik yaitu harus membawa proposal, harus membawa akta lembaga, harus ada surat tugas dari lembaga/kampus dan tidak tersedia layanan PPID/petugas.
“Tinggal disempurnakan lagi, khususnya di daerah,” kata Mustakim.
Secara umum, survei ini juga mengidentifikasi kendala-kendala terkait pelaksanaan keterbukaan informasi publik, di antaranya masih banyak lembaga publik yang menganggap menyediakan dan memberikan informasi publik bukan sebuah kewajiban.
Secara infrastruktur, juga masih ada sejumlah lembaga publik yang belum siap termasuk ketersediaan sumber daya manusia (SDM) nya. Adanya salah tafsir terkait informasi yang dikecualikan yang termaktub dalam UU KIP. Hingga, kultur atau mindset para penyelenggara atau aparatur lembaga publik yang sudah terbiasa tertutup.
Adapun rekomendasi dari survei ini, adalah menyegerakan pembentukan PPID di semua badan/lembaga publik sekaligus memberikan pelatihan terkait tugas dan fungsi PPID juga seputar UU KIP dan arti penting transparansi dan keterbukaan informasi. Lalu, memperbaiki pengelolaan website dengan menyiapkan dan memperbaharui semua data dan informasi sesuai yang diamanatkan UU KIP.
Selain itu, juga perlu meningkatkan penyediaan data secara proaktif yang bisa diakses publik tanpa permohonan informasi. Memfasilitasi semua permohonan informasi yang dilayangkan publik sepanjang tidak terkait informasi yang dikecualikan seperti yang sudah diatur dalam UU KIP. Kemudian, KI pusat dan daerah terus mengawal sekaligus melakukan supervisi terhadap lembaga publik dalam melaksanakan UU KIP.
Survei yang AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dengan dukungan Internews dan USAID mengadopsi metode FOIAnet (https://foiadvocates.net) yang menggunakan tiga indikator pengukuran, yaitu informasi yang dipublikasikan secara proaktif (Proactive Disclosure), tindakan yang dilakukan lembaga publik dalam mendukung keterbukaan informasi publik (Institutional Measure), dan bagaimana permintaan informasi publik direspon (Processing Request). (Jekson Simanjuntak)