JAKARTA, MEDIA JAKARTA.COM– Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menekankan setiap tokoh yang memimpin Indonesia sebagai presiden, punya jasa besar dalam pembangunan bangsa dan negara. Termasuk HM Soeharto, Presiden Indonesia ke-2, yang memimpin Indonesia selama lebih kurang 32 tahun (1967-1998).
Salah satunya dengan memberikan kewenangan kepada MPR RI untuk menyusun dan menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang membuat arah pembangunan nasional dan daerah terencana dengan baik.
“GBHN diterjemahkan oleh pemerintah pusat kedalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Sementara oleh pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), dokumen GBHN diterjemahkan ke dalam dokumen Pola Dasar Pembangunan Daerah (Poldasbangda). Tidak heran jika pada masa itu, Indonesia berhasil melakukan banyak pembangunan monumental. Seperti swasembada pangan pada tahun 1984, yang mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada tahun 1985,” ujar Bamsoet usai menghadiri Tasyakur Haul 100 Tahun HM Soeharto, di Masjid At-Tin, Jakarta, Selasa (8/6/21).
Turut hadir antara lain Wakil Presiden RI ke-6 Try Sutrisno, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Nasaruddin Umar, Din Syamsuddin, Akbar Tanjung, Sutiyoso serta Sri Edi Swasono. Dari keluarga besar Soeharto hadir antara lain Siti Hardijanti Rukmana, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi serta Hutomo Mandala Putra.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, sejak 1 April 1969 hingga 21 Mei 1998, tidak kurang dari enam Tap MPR tentang GBHN dihasilkan oleh MPR RI pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Antara lain Tap MPR No. IV/MPR/1973; Tap MPR No. II/MPR/ 1978; Tap MPR No. IV/ MPR/1983; Tap MPR No. II/MPR/1988; Tap MPR No. II/MPR/1993; dan terakhir Tap MPR No. II/MPR/1998.
“Sebagai turunan dari GBHN, pemerintahan Presiden Soeharto membuat enam Repelita. Yakni Repelita I (1969-1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian. Repelita II (1974-1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi. Repelita III (1979-1984) menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menambahkan, Repelita IV (1984-1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan industri. Repelita V (1989-1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan. Repelita VI (1994–tidak selesai) bertujuan meningkatkan pembangunan iklim investasi asing dalam rangka menggenjot perekonomian dan industri nasional.
“Selain bisa swasembada pangan, dengan adanya petunjuk arah pembangunan melalui haluan negara, pemerintahan Presiden Soeharto juga berhasil membangun jalan tol pertama di Indonesia. Yakni Jalan Tol Jagorawi yang mulai dibangun pada tahun 1973 dan dioperasikan mulai 9 Maret 1978. Selama kepemimpinannya pada rentang jabatan tahun 1968 hingga Mei 1998, Indonesia berhasil mengoperasikan sekitar 490 Km jalan tol,” tandas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menekankan, tidak heran jika kini muncul kembali wacana oleh berbagai kalangan agar MPR RI kembali diberikan kewenangan menyusun dan menetapkan haluan negara, yang dalam rekomendasi MPR RI periode 2014-2019 disebut dengan nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Dukungan tersebut antara lain datang dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, dan berbagai Organisasi Keagamaan mulai dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu.
Serta berbagai civitas akademika, antara lain Universitas Negeri Udayana, Universitas Ngurah Rai Bali, Universitas Warmadewa Bali, dan Universitas Mahasaraswati Bali.
“Tasyakur 100 Tahun HM Soeharto kiranya bisa dijadikan momentum menggelorakan kembali semangat kebangsaan dalam menghadirkan haluan negara. Karena terlepas dari apapun yang terjadi selama periode kepemimpinannya, Presiden Soeharto telah melakukan banyak pembangunan besar bagi Indonesia, sehingga dijuluki sebagai Bapak Pembangunan Indonesia,” pungkas Bamsoet. ()