JAKARTA, MEDIAJAKARTA.COM – Koalisi Warga untuk Keadilan Tenaga Kesehatan Indonesia mendesak Kementerian Kesehatan segera mencairkan dan memberikan dana insentif kepada para nakes yang bertugas melayani perawatan pasien Covid-19, terutama mereka yang bertugas di RSDC Wisma Atlet dan RSDC lainnya sebelum pertengahan Mei 2021.
Secara mengejutkan pada 5 Mei 2021, Jaringan Nakes Indonesia melapor kepada LaporCovid-19 terkait belum dibayarkannya insentif relawan tenaga kesehatan RSDC Wisma Atlet sejak bulan Desember 2020 hingga April 2021.
“Beberapa nakes bahkan belum mendapatkan insentif sejak November 2020. Artinya, mereka bekerja tanpa upah sama sekali di tengah tingginya risiko infeksi. Mereka juga tidak bisa bekerja di tempat lain selama menjadi relawan,” ujar Firdaus Ferdiansyah dari LaporCovid-19.
Menurut Firdaus, meski berstatus sebagai relawan, para nakes di RSDC Wisma Atlet berhak atas insentif dan santunan kematian, sebagaimana amanat KMK HK.01.07/MENKES/4239/2021, pada No. 3C, Bagian B, BAB II tentang tenaga kesehatan yang bekerja pada RS Darurat Lapangan seperti RSDC Wisma Atlet dan RS darurat lapangan lainnya.
Selama ini, para relawan bertahan hidup dengan konsumsi dari Wisma Atlet dan donasi karena lambatnya pencairan insentif selama berbulan-bulan. Data Jaringan Nakes Indonesia per 10 Mei 2021 menyebutkan, terdapat 1500 perawat yang belum menerima insentif bulan November – Desember 2020.
Sedangkan pada Januari 2021 terdapat 400 perawat yang belum mendapatkan insentif. “Situasi ini hampir mirip dengan bulan Februari – April 2021 dimana ada 1500 perawat tak kunjung menerima haknya sebagai relawan,” kata Firdaus.
Sementara itu, data LaporCovid-19 sejak 8 Januari hingga 6 Mei 2021 menemukan 3484 nakes belum menerima insentif. Secara perlahan, penunggakan insentif sudah mulai dibayarkan, namun sejak keluarnya peraturan terbaru (KMK HK.01.07/MENKES/4239/2021), dari pertengahan April hingga awal Mei, sebanyak 84 nakes (tersebar dari berbagai daerah) tidak menerima hak insentif mereka.
Persoalan terbesar yang ditemukan adalah distribusi pencairan insentif yang tidak teratur, tidak dilakukan secara reguler, sehingga distribusi terhenti tanpa tahu kapan insentif kembali didistribusikan.
“Tidak hanya itu, para nakes juga mendapati adanya pemotongan dari faskes tanpa adanya persetujuan/kontrak yang membuat insentifnya bekurang,” ujar Firdaus.
Salah satu laporan yang masuk ke LaporCovid-19, berbunyi demikian:
“Sebagai perawat di ruang isolasi Covid-19, saya hanya mendapat insentif 3jt yang seharusnya menerima 7,5jt. Pemotongan insentif ini sudah terjadi sejak awal pencairan insentif dari Kemenkes. [terkait pemotongan insentif ini] saya belum bisa memastikan berapa kawan-kawan saya yang terkena imbasnya, karena tidak ada transparansinya. Di RS kami ada penerima insentif sekitar 60 orang yang terdiri dari perawat, dokter umum dan DPJP. Kemungkinan untuk yg DPJP disalurkan penuh karena kalau insentif DPJP dipotong akan bersuara, sedangkan kami mau bersuara imbasnya juga di kami juga. Yang jelas, untuk pemotongan itu terakhir di bulan September 2020, kabarnya sudah masuk ke rekening RS tapi ada rencana pemotongan insentif untuk pencairan bulan November-Desember 2020. Sedangkan untuk bulan Januari – April 2021, saya masih belum mendapatkan kabar selanjutnya”
Kota Batu, Jawa Timur – 08 Mei 2021
Perwakilan YLBHI M. Isnur yang merupakan bagian dari koalisi menilai permasalahan ini diperparah ketika para nakes dipaksa bungkam, saat ingin menyuarakan hak-hak mereka.
“Akibatnya para nakes tidak berani menyampaikan pendapat maupun keluhan terkait hak insentifnya,” ujar Isnur.
Sistem kerja nakes yang mengharuskannya tinggal di wisma atlet dan dikontrol oleh militer dan polri, menurut Isnur, turut membuat mereka tidak leluasa bersuara. Situasi itu juga menimbulkan kegamangan apabila mereka memutuskan berhenti bertugas.
“Dikhawatirkan tunggakan insentif tidak dicairkan, mengingat kontrak mereka juga diperpanjang secara otomatis setiap bulan,” papar Isnur.
Kasus terbaru, dialami oleh salah satu relawan dari Jaringan Nakes Indonesia yang terpaksa diberhentikan pada 10 Mei 2021, setelah menyuarakan haknya sebagai relawan.
“Ini tentu berada di luar nalar kemanusiaan dan sangat tidak pantas dilakukan kepada warga negara yang telah bersusah payah membantu di masa krisis untuk menangani pandemi Covid-19,” kata Isnur.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa pembayaran insentif yang tertunggak telah disalurkan sejak 14 April 2021 lalu. Namun faktanya, banyak tenaga kesehatan yang hingga kini belum menerimanya.
Karena itu, Koalisi Warga untuk Keadilan Tenaga Kesehatan Indonesia mendesak Kementerian Kesehatan untuk memenuhi semua kewajiban sebagai aparatur negara yang bertanggung jawab untuk memberikan hak insentif dan santunan kepada nakes, sesuai amanah peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Juga memberikan insentif bagi nakes yang tidak bekerja pada fasilitas layanan kesehatan yang dikategorikan menurut KMK HK.01.07/MENKES/4239/2021 namun terinfeksi dan menderita Covid-19,” kata Isnur.
Selanjutnya, Isnur meminta menghentikan semua pencitraan bahwa dana insentif dan santunan kepada tenaga kesehatan sudah dicairkan, padahal kenyataannya banyak nakes yang belum menerima.
Khusus terkait tindakan sewenang-wenang dan bentuk tekanan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, Isnur mendesak Menkes Budi Gunadi Sadikin segera mengambil langkah tegas untuk melindungi hak tenaga kesehatan.
“Menteri harus mencegah adanya upaya-upaya kekerasan terhadap tenaga kesehatan sebagai bukti ketegasan dalam melindungi tenaga kesehatan yang telah mengabdikan dirinya pada kemanusiaan,” pungkas Isnur.
Pasca setahun pandemi Covid-19, Rumah Sakit Darurat Corona Wisma Atlet (RSDC Wisma Atlet) telah merekrut relawan tenaga kesehatan yang cukup besar. Terdapat sedikitnya 1545 perawat dan 249 dokter ditambah sejumlah tenaga kesehatan lain, seperti epidemiolog, sopir ambulans, sanitarian, apoteker, ahli teknologi laboratorium medik, elektromedik dan fisikawan medik. (Jekson Simanjuntak)