Freeport Stop Operasi, Begini Dampaknya bagi Indonesia

ASEAN Terkini Bisnis Asean Freeport Indonesia Indonesia Indonesia Mining
Tambang Freeport Papua. Doc

JAKARTA, BISNISASEAN.COM – PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) dan McMoran Inc telah meneken pokok-pokok kesepakatan divestasi atau Head of Agreement (HoA) saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Dalam kesepakatan ini, Inalum akan menguasai 41,64 persen PT Freeport Indonesia. Langkah ini untuk menggenapi 51 persen kepemilikan saham oleh pihak nasional.

Proses yang akan dilakukan, Inalum mengeluarkan dana sebesar USD 3,85 miliar untuk membeli hak partisipasi dari Rio Tinto di Freeport Indonesia dan 100 persen saham Freeport McMoran di PT Indocopper Investama, yang memiliki 9,36 persen saham di Freport Indonesia.
Ada banyak isu dan komentar miring menyusul penandatanganan HoA tersebut. Salah satunya adalah soal saham Freeport yang dikuasai hanya 51 persen atau menyebut harusnya pemerintah menunggu sampai 2021 agar bisa menguasai tambang secara keseluruhan tanpa Freeport. Belum lagi ada pihak yang menuntut pengusiran Freeport dari Indonesia.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah menjelaskan alasan pemerintah mengambil alih 51 persen karena pertimbangan teknologi.
“Kita bisa saja berusaha lebih besar, tapi masih butuhkan kerja sama. Baik kerja sama teknologi, juga kerja sama daripada pemasaran dan manajemen proyek besar ini,” kata Jusuf Kalla, Jakarta Timur, Rabu, 18 Juli 2018.
Di luar itu, ada faktor-faktor lain yang harus diperhatikan apabila Freeport berhenti beroperasi. Berikut sejumlah risiko jika Freeport berhenti operasi.
Jika Indonesia tidak memperpanjang operasi Freeport, perusahaan tambang asal AS tersebut akan berhenti melakukan penambangan block caving yang dapat mengakibatkan longsor atau penutupan lorong-lorong tambang secara permanen. Jika ini terjadi, pemerintah harus mengeluarkan biaya mahal untuk pemulihan operasional tambang.
“Metode block caving yang sedang dioperasikan saat ini di Grasberg adalah yang terumit dan tersulit di dunia,” kata Head of Corporate Communication and Goverment Relation Inalum Rendy Witoelar baru-baru ini.
Tak hanya itu, dampak sosio-ekonomi akibat dari berhentinya operasi PTFI akan sangat besar terhadap Papua. “Sebab 45 persen GDP provinsi dan 90 persen GDP Kabupaten Mimika bersumber dari operasional PTFI,” kata Rendy.
Rendy menjelaskan, Freeport Indonesia mempunyai interpretasi KK yang berbeda dengan pemerintah. PTFI mengakui kalau KK akan berakhir pada 2021, tapi mereka beranggapan berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun dan pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara tidak wajar.
Pasal 31 ayat 2 KK: Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum, persetujuan ini akan mempunyai jangka waktu 30 tahun sejak tanggal penandatanganan persetujuan ini dengan ketentuan bahwa perusahaan akan diberi hak untuk memohon dua kali perpanjangan masing-masing 10 tahun atas jangka waktu tersebut secara berturut- turut, dengan syarat disetujui pemerintah. Pemerintan tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara tidak wajar.
Permohonan tersebut dari perusahaan dapat diajukan setiap saat selama jangka waktu persetujuan ini, termasuk setiap perpanjangan sebelumnya.
Rendy menjelaskan, berakhir atau tidaknya pada 2011 akan tetap menjadi perdebatan karena FCX menafsirkan harus adanya perpanjangan KK hingga 2041. Perdebatan ini akan berpotensi berakhir di arbitrase dan tidak ada jaminan 100 persen Indonesia akan menang.
“Langkah abitrase tidak diambil karena tidak ada jaminan 100 persen bahwa Indonesia akan menang karena nuansa kalimat ‘menahan atau menunda persetujuan tersebut secara tidak wajar’ dalam bahasa Inggris ‘unreasonably withheld’ mempunyai penegasan tidak boleh menahan untuk tidak memperpanjang kontrak karya,” paparnya. (LIP/BA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *