“Dunia
sedang menghadapi kehancuran dan bencana ekologis. Masyarakat adat di seluruh
dunia, hanya merekalah yang akan menyelamatkan Bumi dan umat manusia dari
bencana kehancuran total.”
Noam
Chomsky
Sekeliling
mulai gelap, saat Depati Njalo, perwakilan Orang Rimba bertutur tentang upaya
mereka melindungi hutan alam yang tersisa ditengah ancaman pandemi Covid-19. Ia
hadir di sela-sela diskusi online Peringatan Hari Bumi ke-50 yang digelar pada 22
April lalu.
Seperti
Orang Rimba lainnya, Depati Njalo setia melindungi hutan melalui tradisi yang dipertahankan
hingga sekarang. Hutan yang dimaksud adalah Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD)
yang menjadi rumah, sekaligus sumber penghidupan mereka sejak lama.
Proses
interaksi dengan hutan telah membentuk peradaban dan budaya saling membutuhkan
antara Orang Rimba dengan alam. Hubungan yang harmonis itu menghasilkan tatanan
tradisi yang kuat, dibuktikan dengan adanya aturan adat serta kearifan lokal
lainnya.
Budaya
Melangun salah satunya. Budaya ini sebagai bentuk penghormatan kepada anggota
keluarga yang telah meninggal. Selanjutnya, anggota kelompok yang tersisa akan berkelana
meninggalkan tempat asalnya dalam waktu tertentu (baca: sekarang 1-12 bulan). Adapun
jenazah diletakkan di Tanah Pasoron (lokasi pemakaman)
"Tanah
Pasoron itu tempat meletakkan jenazah Orang Rimba yang meninggal. Dan tempat itu
tidak boleh dibuka jadi kebun atau pohonnya diambil." ujar Depati Njalo.
Bagi
Depati Njalo, Tanah Balubalai dianggap sebagai penghormatan terhadap Bumi dan
sang pencipta. Di Tanah Balubalai yang merupakan zona adat, Orang Rimba biasanya
melaksanakan peribadatan. Tempat itu disakralkan dan diyakni dijaga oleh Dewo
(dewa) dan ruang adat itu tidak boleh diganggu.
"Tanah
Balubalai, sebagai tempat Orang Rimba melakukan ritual adat dan tempat
sembayang yang tidak boleh diganggu", tegas Depati Njalo.
Tanah
Perano'on yang merupakan tempat Orang Rimba melahirkan, menurut Depati Njalo
juga disakralkan. Di lokasi itu, pohonnya tak boleh ditebang sembarangan. Apabila
ditebang, pelakunya mendapat nasib sial.
Orang
Rimba sangat memperhatikan detil lokasi yang dijadikan Tanah Perano'on, seperti:
tanahnya harus datar, kesuburan tanah serta jenis tanaman yang cocok sangat
disesuaikan.
"Tanah
Perano'on dipilih khusus, tempat Orang Rimba melahirkan sekaligus membesarkan
anak-anak mereka", kata Depati Njalo
Selain
itu, masih banyak aturan adat dan ritual Orang Rimba yang masih terpelihara
hingga sekarang. Hal itu, menurut Depati Njalo, sebagai upaya melindungi hutan, ditengah
alih fungsi lahan yang terus terjadi. Akibatnya, ruang gerak Orang Rimba terbatas.
"Ketika
hutan semakin sempit, imbasnya kembali pada kami. Seperti misalnya pada
keberadaan pohon Setubung, yang ditanam ketika anak-anak lahir, bisa jadi
musnah", papar Depati Njalo.
Orang
Rimba memiliki hubungan yang sangat erat dengan hutan, khususnya pohon Tenggeris
dan Setubung. Kedua jenis pohon itu sangat
dibutuhkan Orang Rimba.
Pohon
Tenggeris, misalnya, digunakan untuk menanam ari-ari anak yang baru lahir. Sedangkan
Setubung diambil kayunya lalu yang diusapkan ke dahi anak yang baru lahir
dan dipercaya bisa menolak bala.
Kedua
pohon itu menjadi semacam identitas bagi anak yang baru lahir. "Jika pohonnya
ditebang, dipercayai si anak mendapatkan penyakit," papar Depati Njalo.
Bagi
Orang Rimba, pembabatan hutan yang berisi pohon Tenggiris atau Setubung, sama saja
seperti nyawa mereka ikut hilang. Penghilangan nyawa merupakan pelanggaran berat
bagi Orang Rimba. Sebagai kompensasi atas hilangnya nyawa, pelanggarnya didenda
500 lembar kain. Ini merupakan denda tertinggi di komunitas Orang Rimba.
Rudi
Syaf, Direktur Eksekutif KKI Warsi, mengidentikkan pohon Tenggeris dan Setubung
sebagai personifikasi bayi Orang Rimba, sekaligus bukti kedekatan terhadap alam.
"Orang
Rimba ketika lahiran, akan meletakkan ari-ari bayi di bawah pohon Tenggiris",
kata Rudi Syaf yang terlibat dalam pendampingan Orang Rimba sejak lama.
Menurut
Rudi, jika pohon Tenggiris bertambah besar, diyakini kesehatan anak juga ikut
membaik. Kesehatannya beriringan dengan pertumbuhan pohon tersebut. Namun akan muncul masalah, ketika pohon
Tenggiris ditebang, misalnya dijadikan perkebunan kelapa sawit atau Hutan Tanaman
Industri (HTI).
"Akibatnya
si anak, seperti tercerabut dari akar kehidupannya. Itulah mengapa pohon Tenggiris
dan Setubung dianggap sakral", papar Rudi Syaf yang menekuni dunia sosial
dan advokasi masyarakat miskin di dalam hutan.
Jika
pada praktiknya ada yang berani menebang pohon tersebut, dan kawasan itu masih
mereka kuasai, menurut Rudi, pelakunya akan mendapatkan hukuman berat.
Namun,
fakta menunjukkan jika perkebunan kelapa sawit telah begitu masif, dan Orang
Rimba tidak mampu menolak. "Pilihan selanjutnya adalah mundur. Dan itu sangat
menyakitkan bagi orang rimba", kata Rudi Syaf.
Lalu,
ketika hutan habis, Rudi menyebutnya sebagai kiamatnya Orang Rimba. "Layak
disebut kiamat, karena Orang Rimba memiliki hubungan yang sangat personal dengan
hutan", ujar Rudi.
Bagi
Emil Salim, mantan menteri lingkungan hidup yang sangat peduli terhadap kelestarian
sumberdaya alam, menilai Orang Rimba memiliki wisdom (kearifan lokal) yang perlu
dipelajari. "Peranan orang rimba,
adalah pengalaman local wisdom yang tinggi, yang mampu meningkatkan
sumber daya alam hayati", ujar Emil Salim.
Karena
itu, menurut Emil Salim, sudah saatnya kearifan lokal digali bagi kemajuan ilmu
pengetahuan. Sebagai contoh, pohon Tenggiris yang menjadi tempat disimpannya
ari-ari Orang Rimba. "Ari-ari
menjadi hal penting yang dikenal di dalam plasma nuftah, khususnya terkait sel punca.
Saat ini banyak orang berlomba-lomba mempelajarinya", ujar Emil Salim.
Lalu,
mengapa pohon Tenggiris, mengapa tidak pohon lain? Emil Salim menilai hal itu perlu
diselidiki. "Apa fungsi, peranan dan manfaat dari pohon tenggiris itu",
tanya Emil Salim
"Besesandingon"
Social Distancing Versi Orang Rimba
Ketika
pandemi Covid-19 melanda dunia, dimana lebih dari 3 juta orang terinfeksi
dengan angka kematian mencapai 219,463 jiwa (data 29 April 2020), hal itu menjadi
keprihatinan tersendiri. Untuk memutus penyebaran virus, sejumlah negara menganjurkan
warganya melakukan social/physical distancing yang tak lain dari pembatasan
jarak agar terhindar dari virus SarsCov-2.
Di
sela-sela pandemi yang merebak sebulan lalu, Orang Rimba ternyata memiliki antisipasi
dengan cara kembali ke tengah hutan. Mereka menyebutnya "Besesandingon",
atau mengasingkan diri dari orang sakit atau yang diduga mengidap penyakit.
"Orang
rimba memegang tradisi menyendiri di dalam hutan, yang saat ini kita analogikan
dengan istilah WFH, social distancing atau physical distancing," ujar
Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno melalui siaran
persnya yang diterima Berita Lingkungan pada 16 April lalu.
Dalam
siaran pers bernomor 148/HUMAS/PP/HMS.3/4/2020, Wiratno, menyebut ada banyak
kearifan lokal di nusantara yang selaras dengan alam. Nilai-nilai kearifan itu menjadi
fondasi dalam konservasi di era modern.
"Pandemi
Covid-19, seperti momentum bagi kita untuk lebih arif, dimana Bumi, perlu
istirahat dari gegap gempitanya kegiatan manusia. Dari Orang Rimba, kita juga belajar
kembali kepada alam," ungkap Wiratno.
Sementara
itu, Kepala Balai TNBD Haidir menyebut tradisi Besesandingon diterapkan sejak
lama oleh Orang Rimba. Itu merupakan kearifan lokal yang terpelihara hingga
sekarang, agar terhindar dari wabah penyakit.
Sebagai
contoh, bila ada anggota keluarga yang baru pulang dari luar hutan yang
jaraknya jauh, maka tidak boleh tinggal di rumah. Tetapi ditempatkan di Sudung (rumah
tenda) yang jaraknya 200 meter dari rumah utama.
Tujuannya,
agar tidak menulari yang lain, jika ternyata membawa penyakit dari luar. Jika
tinggal di Sudung selama 1 minggu, dan ia tetap sehat, berarti bisa tinggal di
rumah utama.
“Budaya
Besesandingon merupakan kearifan lokal yang sangat relevan dengan kondisi
pandemi Covid-19 saat ini,” pungkas Haidir.
Mantan
Temenggung Tarib, atau H Jaelani yang kini menjadi tetua adat Orang Rimba dari Desa
Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, menyebut Besesandingon
sebagai cara agar Orang Rimba terhindar dari penyakit menular. Terbukti, sejak
dulu, Orang Rimba berhasil selamat karena mematuhi pantangan dan larangan adat.
“Contoh,
zaman dulu jika ada yang sakit batuk, ia tidak boleh melewati jalan yang biasa
dilewati orang di dalam hutan. Kalaupun terpaksa, si penderita harus memberi
tanda, sehingga jalan tersebut tidak dilewati orang sehat, selama minimal 7
hari", ujar Tarib, mantan Tumenggung Sungai Terab yang menerima penghargaan
Kalpataru dari Presiden SBY di tahun 2006.
Rudi
Syaf, Direktur Direktur Eksekutif KKI Warsi, menyebut Besesandingon sebagai praktik
physical distancing ala Orang Rimba. Cara itu menunjukkan jika mereka sangat
peduli dengan kesehatan komunitasnya.
"Besesandingon,
yaitu physical distancing untuk melindungi diri dari wabah jika ada yang
sakit", ujar Rudi Syaf.
Sementara
bagi Akhmad Arif, penulis buku "Menjadi Indonesia: Konstruksi Sosial atas
Identitas" menilai kemampuan physical distancing ala Orang Rimba
patut dicontoh.
"Salah
satu kunci sukses mereka adalah kemampuan mengisolasi diri, di ruang dimana
mereka mampu beradaptasi dengan baik", ungkap Akhmad Arif.
Namun,
Akhmad Arif kawatir jika Covid-19 hadir di komunitas Orang Rimba. Meski faktanya
mereka mampu beradaptasi dengan penyakit-penyakit lama, namun untuk Covid-19,
pastinya dibutuhkan waktu yang lama dan bisa jadi jumlah Orang Rimba akan
berkurang.
Berburu
Dan Meramu Ciri Orang Rimba
Berburu
menjadi penanda bagi Orang Rimba untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang
Rimba merupakan pemburu ulung dan tidak mengenal tradisi beternak. Secara umum, ada dua teknik berburu yang dikembangkan
Orang Rimba, yakni memasang jerat, dan menangkap langsung hewan buruan.
Memasang
jerat merupakan teknik berburu yang paling banyak dipraktekan. Tidak seperti menangkap
langsung, yang tentunya lebih sulit, memasang jerat bisa dilakukan oleh siapa pun,
termasuk anak-anak.
Sehingga
jangan heran, jika anak-anak Orang Rimba sangat terlatih membuat jerat. Adapun hewan
yang dijerat, diantaranya: babi hutan, rusa, kancil, musang, trenggiling,
landak, tikus dan tupai.
Sementara
teknik kedua, yakni menangkap langsung hewan buruan memerlukan ketrampilan dan keberanian.
Berburu model ini dilakukan berkelompok, dibantu anjing pemburu, serta
dilengkapi sejumlah alat, seperti: tombak, parang, dan tali untuk mengikat.
Kini,
binatang buruan semakin langka dan untuk mendapatkannya harus menempuh jarak
yang jauh. Hewan buruan yang mudah didapat hanyalah babi hutan. Hewan lainnya
seperti rusa, kancil, dan kijang sudah jarang ditemui.
Orang
Rimba juga dikenal sebagai peramu, yaitu mengumpulkan dan meramu makanan dari
hutan. Belakangan Orang Rimba juga mampu berkebun, dalam arti sebidang lahan ditanami
tanaman-tanaman keras, seperti: durian, nangka, cempedak, duku, salak hutan,
pisang, jengkol, petay, dan karet yang getahnya disadap setiap hari.
Orang
Rimba memiliki kebun yang jauh berbeda dengan kebun orang desa. Kebun Orang
Rimba lebih mirip hutan dengan berjenis-jenis tanaman keras, bercampur tanaman
asli hutan. Karen tidak dirawat dan mirip hutan, kebun tersebut dijadikan
tempat menjerat aneka jenis hewan.
KKI
Warsi menilai Orang Rimba yang hidupnya bergantung pada berburu dan meramu,
berpotensi terpinggirkan seiring ruang gerak yang terbatas. "Saat ini,
banyak Orang Rimba tinggal di kebun sawit, baik milik perusahaan atau milik
masyarakat lain. Kemudian ada juga yang hidup di kawasan HTI", ujar Rudi
Syaf.
Menurut
Rudi, Orang Rimba di luar hutan alam (TNBDB) mampu bercocok tanam dengan
sistem
monokultur. Tentu saja, karena banyak yang hidup di kawasan hutan
Akasia, atau perkebunan karet. "Itu yang sekarang dikenal sebagai
Hutan
Tanaman Industri (HTI)", tegas Rudi Syaf.
Orang
Rimba yang hidup di luar kawasan hutan alam, menjadi marjinal, karena sumberdaya
alam yang terbatas. Mereka tidak bisa lagi mengandalkan hidup dari meramu dan
berburu.
"Berbeda
dengan yang masih tinggal di kawasan TN Bukit Duabelas. Mereka masih bisa meramu
dan berburu", kata Rudi.
Populasi
Orang Rimba Menurun
Akhmad
Arif, Penulis buku 'Menjadi Indonesia: Konstruksi Sosial atas Identitas' beruntung
bisa menyaksikan bagaimana Lembaga Eijkman mengambil sampel DNA Orang Rimba di kawasan
TN Bukit Duabelas. Saat itu, Aik, nama panggilan Akhmad Arif dibantu tim dari KKI
Warsi.
"Di
2016, saya jalan bersama Warsi, bukan hanya untuk mengetahui asal usul Orang
Rimba, tetapi tapi juga mencari tahu jenis penyakit yang ada di sana", ungkap
Akhmad Arif.
Menurut
Aik, yang menarik dari temuan Eijkman adalah mengenai identitas genetik Orang Rimba,
usai meneliti mithocondria DNA perempuannya, diketahui mulai terbentuk sekitar
400 tahun lalu.
"Yang
jika dihitung, sekarang baru sebanyak 20 generasi", ujar Aik yang sedang menyelesaikan
bab-bab akhir dari buku 'Menjadi Indonesia: Konstruksi Sosial atas Identitas'.
Di
dalam bukunya, Aik menyebut nenek moyang Orang Rimba kemungkinan telah bergabung
dengan etnis-etnis yang lain di sekitarnya. "Bisa jadi dari Sumatera Barat
dan lain lain. Lalu kemudian mereka membentuk populasi sendiri di sekitar hutan",
ujar Aik.
Selain
itu, merujuk pada studi Lembaga Eijkman, Aik heran mengapa populasi Orang Rimba
menurun drastis dalam 50 tahun terakhir. "Mungkin ini bersesuaian dengan
cerita perubahan ekologi yang masif pada periode-periode itu", kata Aik.
Padahal,
menurut Akhmad Arif, ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya, beberapa etnis termasuk
Orang Rimba telah mampu beradaptasi dengan lingkungan hutan. Lalu ketika kemerosotan
populasi terjadi hanya dalam waktu 50 tahun, diduga adanya faktor eksternal. Pasalnya,
Orang Rimba memiliki adaptasi DNA yang luar biasa, termasuk menghilangkan
mutasi gen yang merugikan.
"Mereka
sebenarnya populasi kecil yang melakukan inbreeding (perkawinan dekat), namun ternyata
jarang Orang Rimba mengalami kecacatan fisik. Ini artinya, daya adapatasi
mereka cukup bagus", ungkap Aik.
Di
sisi lain, temuan Eijkman bersama Warsi di 2015 memperlihatkan prevalensi Hepatitis B sebesar 33,9 persen dari 583 Orang
Rimba yang diperiksa. Penyakit yang menjangkiti sepertiga dari populasi Orang
Rimba itu dapat menyebabkan kanker hati.
"Ditengah
adapatasi yang positif, ternyata cukup mengkhawatirkan ketika prevalensi
hepatitis B dan malaria cukup tinggi, dan mungkin yang tertinggi di Indonesia",
kata Akhmad Arif.
Akhmad
Arif berkeyakinan, penyakit-penyakit itu dibawa oleh orang luar yang berinteraksi
dengan Orang Rimba. "Dulu mereka tidak divaksin, tidak masalah, karena
tubuh mereka mampu beradaptasi dan melakukan seleksi alam. Lalu muncul penyakit
baru. Akhirnya yang tidak mampu beradaptasi, bisa jadi hilang", ungkap
Aik.
Keterbukaan
akses dalam 50 tahun terakhir, interaksi yang masif, hingga terbukanya ruang hidup
Orang Rimba dari yang sebelumnya terisolasi, menurut Aik, berpotensi memperbesar
kerentan itu.
Selain
itu, Akhmad Arif mengkhawatirkan kerentanan yang bukan hanya soal adaptasi tubuh,
tetapi juga kerentanan sosial ekonomi. Ketika model pembangunan seperti sekarang
terus dipaksakan, keberadaan Orang Rimba pasti terancam.
"Pada
akhirnya, yang kita lihat adalah penyempitan ruang hidup, yang membawa kekhawatiran
terhadap hilangnya Orang Rimba", ujar Aik.
Ancaman
Etnosida
Semakin
luasnya alih fungsi hutan alam menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Jambi membuat
Orang Rimba terdesak. Jika dibiarkan, mereka terancam mengalami Etnosida
dalam beberapa tahun ke depan.
"Nah
yang paling buruk, yang kami cemaskan adalah apa yang kami sebut dengan Etnosida.
Jadi secara etnis pada akhirnya mereka akan Musnah", Ujar Direktur
Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Rudi Syaf.
Etnosida merujuk kepada eksterminasi budaya nasional
sebagai komponen genosida. Bartolomé Clavero membedakannya dengan menyatakan, Genosida
membunuh orang, sementara Etnosida membunuh budaya sosial melalui
pembunuhan jiwa-jiwa individual.
Dugaan
Etnosida menguat, pasca temuan KKI Warsi, dimana banyak Orang Rimba
telah keluar dari kawasan hutan alam (TNBD) dalam 1 dekade terakhir. Mereka memilih
tinggal di sepanjang jalan lintas tengah Sumatera, di Kabupaten Sarolangun,
Merangin, dan Bungo.
Kehidupan
ekonomi mereka juga buruk, karena kebanyakan bekerja sebagai buruh kebun sawit/
karet, penjual obat tradisional, atau dimobilisasi pemilik modal untuk berburu
satwa liar.
KKI
Warsi juga mencatat, sedikitnya ada 10 perusahaan hutan tanaman industri (HTI) di
kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Total keseluruhan areal HTI 318.648
hektar, dimana sebagian merupakan kawasan hunian dan sumber mata pencarian Orang
Rimba.
Belum
lagi, hutan di Jambi beralih fungsi sebagai areal transmigrasi. Sejak 1968,
pemerintah menempatkan sedikitnya 600.000 pendatang yang sebagian besar dari Jawa,
hidup bersama 1.600 orang rimba.
Kebijakan
itu sempat menimbulkan gegar budaya bagi Orang Rimba. Mereka yang semula
terbiasa hidup berburu dan meramu, dipaksa menjalani kehidupan modern.
Ini
secara tidak langsung menghancurkan akar budaya Orang Rimba. Karena itu, Rudi Syaf
menekankan, apa yang terjadi pada Suku Sakai di Riau, kemungkinan juga dialami Orang
Rimba.
"Hari
ini, bisa dibilang kita tidak akan menemukan Suku Sakai. Karena umumnya sudah
menyebut dirinya Melayu. Nah itu kan, berarti sifat keetnisannya hilang dan ini
yang kami cemaskan pada Orang Rimba", papar Rudi Syaf.
Pendampingan
Warsi
Saat
membawakan presentasi berjudul 'Masyarakat Tiang Utama Konservasi', Rudi Syaf,
Direktur Eksekutif KKI Warsi menyebut Warsi sebagai NGO telah mendampingi Orang
Rimba dalam 30 tahun terakhir.
"Ketika
memulainya di tahun 1991, kami mencoba merawat apa yang ada di Orang Rimba,
ketika mereka mampu melakukan enrichment terhadap alam", ujar Rudi
Syaf
Selama
ini Orang Rimba mengenal istilah-istilah, seperti Bukit Bedewo, Imbo Larangan,
Imbo Prabukalo, Imbo Pusako, dan Imbo Hulu Air. "Itu merupakan penamaan
untuk kawasan hutan alam, yang mereka jaga", kata Rudi.
"Apakah
dijaga untuk keperluan air, untuk masa depan anak cucu, atau dijaga untuk
pemanfaatan sumber daya alam non kayu. Mereka sangat memperhatikan alam", lanjut
Rudi.
Kendati
demikian, Rudi juga menemukan potensi terdegradasinya kearifan lokal Orang Rimba.
Terbukti, mereka yang selama ini arif mengelola hutannya, tidak mampu menahan
laju penghancuran, lewat alih fungsi lahan.
"Nah,
kami mencoba bersama sama masyarakat, untuk paling tidak kita bisa pertahankan",
kata Rudi.
Selain
itu, KKI Warsi juga berupaya agara Orang Rimba mendapatkan pengakuan negara
melalui batas hutan adat. Orang Rimba perlu diakui, termasuk juga oleh masyarakat
desa yang ada di luar mereka.
"Kemudian
Warsi membuat motto adalah Konservasi Bersama Masyarakat", kata Rudi Syaf.
Menurut
Rudi, tagline itu sengaja digaungkan, karena pada medio 80-an, ada taman
nasional besar, yaitu TN Kerinci Seblat meliputi empat provinsi (Jambi, Sumatera
Barat, Sumatera Selatan dan Bengkulu) memiliki luas 1,4 juta Ha yang didalamnya
terdapat masyarakat adat.
"Saat
itu, pengelolaan kawasan konservasi konsepnya seperti botol. Jadi tidak boleh
ada orang berintraksi di taman nasional. Satu Ranting patah, itu sudah
pelanggaran", pungkas Rudi.
Lalu
KKI Warsi hadir di kawasan konservasi untuk mendorong penguatan masyarakat
lokal, termasuk Orang Rimba, karena merekalah yang menjadi garda terdepan dalam mengamankan kawasan hutan.
Pentingnya
Resource Enrichment
Ketika
Orang Rimba mampu bertahan dikala pandemi, dengan mempraktikkan kearifan lokal,
Emil Salim, tokoh lingkungan Indonesia menyebutnya sebagai Resourse Enrichment
atau pengayaan sumberdaya alam hayati.
Disaat
pandemi, alam terlihat membaik, ditandai langit biru, udara bersih, lubang ozon
mengecil, laut semakin bersih, dan ikan-ikan berhasil tumbuh. Menurut Emil
Salim, itu membuktikan jika alam mampu melakukan rehabilitasi.
"Mengapa
Alam membaik? Karena kegiatan manusia berhenti. Dan alam membaik karena pola
manusia yang berbangun dengan pola ekonominya berubah", ujar Emil Salim.
Ketika
orang memilih diam rumah, tidak melakukan mobilitas, lalu mengambil jarak, praktis
pembangunan gaya lama berhenti. "Jadi ada dua kontras, di tahun 1970 (peringatan
Hari Bumi pertama), alam rusak dan masyarakat ekonominya booming/ naik. Di
tahun 2020, alam membaik, manusia babak Belur", papar Emil Salim.
Dari
situ, Emil Salim menarik pelajaran berharga, bahwa membangun di masa depan, yakni
alam tetap terjaga, dimana membangun tidak bersifat eksploitasi, namun melakukan
enrichment, atau memperkaya sumber daya alam.
"Jadi
pola pembangunan kedepan, manusia perlu mengembangkan ekonominya dengan membuat
sejumlah perubahan", kata Emil Salim.
Karena
itu, di momen Hari Bumi ke-50, Emil Salim meminta setiap orang melakukan
refleksi tentang social/ physical distancing, belajar/ bekerja dari
rumah dan dampaknya terhadap Bumi. "Ini pelajaran penting dari hari Bumi
sekarang ini", katanya.
Apa
yang dilakukan Orang Rimba, tentang memanfaatkan alam tanpa merusak, namun malah
memperkaya alam, menurut Emil Salim sebagai praktik enrichment yang
sesungguhnya.
"Dari
Orang Rimba kita belajar cara memperlakukan alam. Eksploitasi yang merusak,
memeras, menggali, menghantam menjadi memperkaya. Itu memerlukan ilmu yang harus
kita gali tanpa merusak alam", pungkas Emil Salim.
Bagi
Emil Salim, resource (sumber daya) harus diperkaya, tidak hanya
berbicara tentang sumber daya alam, tetapi juga sumber daya manusia. Karena itu,
ilmu pengetahuan perlu dikembangkan, termasuk dengan menggali kearifan lokal
yang ada di Indonesia.
Setuju
dengan konsep Resource Enrichment, Akhmad Arif, penulis buku 'Menjadi Indonesia:
Konstruksi Sosial atas Identitas' menilai pandemi sebagai momen yang pas untuk berubah.
Momentum untuk belajar dari kesalahan masa lalu, karena sejatinya ekonomi mampu selaras dengan lingkungan, juga
bisa selaras dengan dengan kemanusiaan.
"Dan
ada banyak model yang mendukung itu. Ini yang seharusnya kita kedepankan",
ujar Akhmad Arif.
Ketika,
Orang Rimba memiliki pengetahuan lokal dan mampu bersinergi dengan alam serta
terbukti mampu beradaptasi dalam waktu lama, maka Aik menyebutnya sebagai:
"pengalaman berharga dan menjadikan kita lebih hormat terhadap alam, termasuk
kepada mereka yang memiliki pengetahuan lebih dari kita".
Hal
ini penting, karena kita sedang mengalami masalah yang sama yaitu kehancuran Bumi,
dan pandemi menurut Akhmad Arif seharusnya membuka mata kita, bahwa salah
kelola alam mengakibatkan kita mengalami bunuh diri ekologi.
"Pada
gilirannya, bukan hanya mengancam populasi kita, tetapi juga populasi spesies
yang ada di Bumi, termasuk mereka yang merupakan penjaga rimba terakhir",
pungkas Aik.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar