Oleh : Prof Emil Salim*
Ketika di tahun 30-han
bisnis gelap minuman alkohol yang dilarang di Amerika Serikat dikuasai
Al Capone, penjahat ulung yang memimpin dengan tangan besi dan menyogok
pejabat Pemerintah, Kejaksaan dan Kepolisian, maka praktis Negara tak
berdaya.
Dalam suasana kemelut korupsi inilah, Pemerintah Pusat
Amerika Serikat menugaskan pemberantasannya kepada kelompok kecil 5
orang dipimpin ahli-hukum Eliot Ness, yang dikenal dengan “The
Untouchables”. Secara cerdik kelompok ini berhasil menemukan pelanggaran
yg sahih tentang penyimpangan pembayaran pajak Al Capone, sehingga
Pengadilan menjatuhkan keputusan menghukum Al Capone masuk penjara di
pulau Al Catraz, California.
Indonesia telah menderita
puluhan tahun praktek korupsi yang sudah menjalar menjadi kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime). Praktis berbagai petugas pengawasan dan
penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga
Pemerintahan banyak terlibat dalam praktek korupsi.
Baru dibawah
pimpinan Presiden Megawati dibentuk Komisi Pemberantasn Korupsi dgn
Undang-Undang no. 30 tahun 2002 dengan KPK tegak mandiri dan dibebaskan
dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya.
Sejak 2002 hingga 2019 dengan dukungan masing-masing
Presiden dan Wakil Presiden yang bertanggung-jawab, terwujudlah berbagai
langkah tindak KPK dalam kurva yang semakin menanjak berupa penangkapan
dan pemenjaraan sesuai proses pengadilan dan mencakup ratusan peiabat
dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketu DPR, anggota DPR, Ketua DPD,
Menteri, Dirjen, Direktur Utama BUMN, Gubernur, Bupati, Ketua Partai
Politik dan sebagainya. Indonesia merupakan satu-satu negara yang
berhasil menangkap banyak pemimpin dalam waktu pendek.
Rata-rata
semua terjirat pelanggaran peraturan perundang-undangan dengan
menyalahgunakan wewenang kekuasaannya dengan imbalan uang yang
menakjubkan.
Semua hasil usaha KPK sekaligus mencerminkan tidak
efektifnya mekhanisme pengawasan yang diterapkan Pemerintah melalui
sistem management “pengawasan melekat” yg menugaskan setiap pejabat
atasan mengawasi pekerjaan bawahan.
Tiap departemen memliki pejabat
Sekretaris Jenderal untuk mengawasi penertiban administrasi departemen
dan pejabat Inspektur Jenderl yang bertanggung-jawab mengawasi jnternal
departemen. Tiap Pemerintahan Daerah memiliki Inspektur Daerah Provinsi
dan Kabupaten untuk mengawasi pelaksaan pembangunan di kawasannya.
Kemudian ada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi yang khusus membina aparatur dan birokrasi negara dan Badan
Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Untuk menangani sistem keuangan negara ada Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK) yang ditopang oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengawasi institusi keuangan.
Untuk memelihara iklim usaha ekonomi yang sehat mencegah oligopoli dan
monopoli juga terbentuk Komisi Pengawasan Persaingan UsHa (KPPU) yang
langsung bertanggung-jawab pada Presiden. Sedangkan di setiap Badan
Usaha Milik Negara (bangunan, perbankan, Garuda, Pertamina dll) juga ada
Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas.
Ringkasnya Indonesia
dijejali lembaga pengawas praktis di segala bidang. Namun umumnya
mekhanisne oengawasan ini tidak berfungsi effektif, seperti tampak pada
kasus-kasus Pertamina, PLN, Garuda, dll. Dalam keadaan sperti ini tampil
menonjol peranan KPK.
Namun sebaliknya menumbuhkan kejengkelan di
kalangan masyarakat politik yang merasakan kenaikan kebutuhan
dana-politik yang semakin naik memenuhi kebutuhan “logistik” pemilihan
umum, pembiayaan mekhanisme partai dll.
Dan tersimpullah disini
permasalahan pokok korupsi di Indonesia, bahwa “demokrasi yang bertumpu
pada kehadiran kehidupan Partai Politik di negara berkembang,seperti
Indonesia, adalah mahal.” Praktis semua partai mengandalkan sumber
pembiayaannya pada sumbangan, donasi dan dana bantuan luar partai.
Pemerintah hanya menyediakan dana bantuan sebesar Rp. 1.000,- per suara
yang diraih dalam pemilu. Jumlah dana ini jauh dari mencukupi. Akibatnya
tumbuh ketergantungan pada “dana fihak ketiga” untuk Partai maupun
Calon Partai dalam pemilihan, meraih kursi Pemilu, jabatan di
Pemerintahan maupun badan-badan politik. Sedangkan penyandang-dana
memandang “sumbangan bantuan kepada Partai” sebagai “investasi” untuk
meminta imbalan kelak, yang akhirnya bermuara pada “kolusi untuk
korupsi” masuk dan menampung sebagian biaya operasi.
Salah satu jalan
keluar menembus lingaran-korupsi ini adalah agar Pemerintah menaikkan
“dana bantuan politik partai politik” menurut perolehan suara ke atas
Rp. 1.000 per perolehan suara yang diikuti dengan penetapan “ambang
batas Partai” untuk penyerhanaan partai dalam Strategi Besar Membangun
Sistem Partai Indonesia dengan tugas nasional untuk Menjabarkan dan
Memperjuangkan Pancasia sebagai ideologi Negara.
Dalam suasana
kegalauan finansial kehidupan Partai inilah DPR (lama) menerbitkan UU
nomor 19/2019 tentang “perubahan ke-2 atas UU no.30/2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” yang membentuk Dewan Pengawas
sebagai badan di atas Pimpinan KPK dan mencopot kebebasan Pimpinan KPK
dalam menerapkan langkah penyadapan dan Operasi-Tangkap-Tangan yg kini
memerlukan “persetujuan Dewan Pengawas”
Sehingga berakhirlah
secara efektifitas kerja Pimpinan KPK yang kini harus senantiasa meminta
persetujuan dan petunjuk Dewan Pengawas KPK. Hilang kedudukan KPK
sebagai lembaga independen dengan pola kepegawaian yang khusus dan
dibutuhkan oleh organisasi KPK sebagaimana halnya pengalaman “the
untouchables” sehingga masa gemilang lembaga KPK merosot menjadi “macan
ompong.”
Beberapa kalangan anggota masyarakat mengajukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi dan mengusulkan agar pola kerja KPK dikembalikan ke
pola Pimpinan-tanpa-Dewan Pengawas yang terbukti effektif selama ini
sesuai Keputusan Presiden Megawati tahun 2002. Semoga Mahkamah
Konstitusi dan Bapak Presiden mendengar suara hati nurani anak bangsa
*Penulis adalah ekonom dan mantan Menteri Lingkungan Hidup yang juga pendiri sejumlah lembaga non pemerintahan seperti LP3ES dan KEHATI.
Post Top Ad

Tags
# Emil Salim
# Kolom
# KPK
# Media Jakarta
# Terkini
Share This

About Editor
Terkini
Label:
Emil Salim,
Kolom,
KPK,
Media Jakarta,
Terkini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar