YOGYA, MEDIAJAKARTA.COM- Siang yang panas di lahan pertanian milik Slamet, di Kabupaten
Bantul, Yogyakarta. Ada empat orang yang bekerja di lahan yang luasnya
sekitar satu hektar.
Sebagian ditanam cabe, sebagian lagi mentimun dan
aneka macam sayuran. Di gubuk tempat mereka beristirahat, Slamet
bercerita banyak tentang bagaimana menjadi petani. Harga jual komoditas
yang naik turun, serangan hama hingga teknik perawatan yang dipelajari
langsung dalam praktik tanam.
“Dulu saya menanam pepaya, tapi mati sebelum panen. Lalu mencoba
semangka, tenyata berat merawatnya. Sekarang lahan ini saya tanami
macam-macam. Yang jadi masalah kadang penyakit tanaman, kalau sudah kena
dan menyebar, lemas rasanya,” ujar Slamet.
Menjadi petani memang tidak mudah, wajar jika anak muda enggan
menggelutinya. Namun, sebenarnya tidak semua anak milenial menghindari
sektor ini. Setidaknya, bagi generasi yang akrab dengan teknologi,
membawa inovasi ke pertanian menjadi tantangan tersendiri.
Misalnya Alvan Fajarudin yang bersama kawannya, Aidil Fikri Islamy
dan Iklillah Maulidiyah Warda menciptakan Agrowbot atau Plant Growth
Promoting Robot. Robot ini bertugas memancarkan medan elektronagnetik
Extremely Low Frequency (ELF). Teknologi ini berfungsi sebagai pemacu
pertumbuhan dan ketahanan tanaman dan sudah diuji coba pada cabai merah.
Alvan, Aidil dan Iklillah adalah mahasiswa Universitas Brawijaya,
Malang.
“Pestisida diterapkan petani kalau sudah ada penyakit yang menyerang
ataupun sebelumnya untuk perlakuan benih. Dari alat kita, tidak membunuh
penyakitnya tetapi membuat tanaman tersebut menjadi lebih tahan,
apabila terserang oleh penyakit. Seperti imun manusia, kalau imun
manusia membuat lebih tahan serangan mikroba, maka juga lebih tahan dari
serangan penyakit,” ujar Alvan
Alvan dan kawan-kawannya membuat robot yang berkeliling di lahan
tanaman dalam melaksanakan tugasnya dan petani dapat mengendalikannya
melalui pemandu jarak jauh. Sejauh ini, ujicoba sudah dilakukan di greenhouse (rumah kaca), dan setidaknya dalam beberapa tahun ke depan, akan bisa berperan di lahan lebih luas.
Unafeed juga merupakan inovasi anak muda di sektor pertanian yang
patut diapresiasi. Perangkat berbasis Internet of Things (IoT) ini
menggabungkan alat pemberi makan otomatis dan berbagai sensor.
Perusahaan start up (rintisan) berbasis di Yogya yang juga diberi nama
Unafeed, mengembangkan perangkat ini khususnya bagi peternak sidat,
sejenis belut.
Sidat adalah komoditas dengan harga tinggi, namun sangat sulit untuk
dibudidayakan. Herawan Caraka dari Unafeed kepada Terkini.com
menceritakan, perangkat ini lahir dari keinginan mereka untuk membantu
peternak sidat.
Masalah yang ingin diatasi adalah pembuatan pakan sidat dalam bentuk
paling tepat dan secara otomatis diberikan dalam takaran yang pas.
Peternak tinggal memasukkan bahan pakan kering, dan alat ini akan
mengubahnya menjadi pasta. Dengan panduan aplikasi, pakan yang
dihasilkan tidak akan terlalu keras dan juga tidak terlalu lembek.
Jumlah takaran yang diberikan juga tepat, untuk menghindari sisa pakan
di dalam kolam yang bisa berubah menjadi amoniak dan mematikan sidat.
“Sidatnya lebih sehat, tidak gampang mati karena keracunan amonia.
Jadi salah satu problem sidat mati itu ya, sebenarnya karena sisa pakan
terus berubah menjadi racun. Oksigennya berkurang, sedangkan amoniak
naik, itu yang bikin mati,” kata Raka.
Perangkat ini memberi banyak kemudahan bagi peternak sidat. Selama
ini, mereka harus mengawasi kolam dengan cermat untuk mengatur
kondisinya. Jika kadar amoniak sudah tinggi, gara-gara pemberian makan
yang berlebihan, peternak harus sering menguras kolam.
Dengan Unafeed, peternak cukup memegang telepon pintar. Seminggu
sekali dia memasukkan bubuk pakan kering, yang diolah otomatis oleh
Unafeed menjadi pasta. Selain itu, peternak bisa mengatur volume pakan,
memantau kadar oksigen terlarut, amoniak, dan suhu melalui sensor yang
tersedia.
“Jika ada kondisi yang tidak ideal di kolam, akan ada notifikasi atau alarm yang memperingatkan peternak sidat,” kata Raka.
Unafeed saat ini sudah memiliki purwarupa kedua, yang akan diuji coba
pertengahan Okober ini. Jika lancar, peternak bisa memanfaatkannya pada
akhir tahun.
Atin Saraswati dari Indmira Indonesia menilai, anak-anak muda semacam
Alvan dan Raka sangat membantu mempersempit jarak – sektor pertanian
dan teknologi. Indmira adalah perusahaan berbasis teknologi yang
melakukan penelitian dan pengembangan agrokomplek, yaitu pertanian,
kehutanan, peternakan dan perikanan, serta rehabilitasi lingkungan.
Bulan lalu, Indmira menggelar ajang “Hack a farm, di mana
generasi muda pertanian, pegiat muda teknologi dan praktisi
berpengalaman berbagi dan berdiskusi masalah pertanian di Indonesia.
Agrowbot dan Unafeed adalah dua dari sekian banyak yang terlibat dalam
acara tersebut.
Atin menguraikan, pemanfaatan teknologi akan berdampak pada tiga hal
yaitu nilai ekonomi, efisiensi biaya produksi dan pelestarian alam.
Catatan penting untuk penciptaan teknologi adalah faktor alam dan sosial
di Indonesia. Karena itu, teknologi yang dihadirkan harus disesuaikan
dengan iklim dan konteks pertanian yang sangat Indonesia.
“Mungkin secara prinsip bisa, tetapi dalam konteks alam, termasuk
tanaman budidaya, itu punya karakteristik tersendiri. Tantangannya
berbeda, modifikasi rekayasa iklimnya berbeda, butuh pendekatan yang
berbeda dan tentu saja teknologi yang berbeda,” kata Atin.
Karena itulah, Indonesia tidak bisa mengambil begitu saja teknologi
pertanian modern yang datang dari luar. Sistem pertanian nenek moyang
yang sudah berbeda, menuntut pengembangan yang berbeda pula.
Penekanan
yang sama juga berlaku dalam bidang lain seperti pengembangan bibit.
Sebagai contoh, Indonesia tidak bisa begitu saja menaikkan produksi
bawang putih, dengan mengambil bibit dari negara subtropis. Meskipun di
negara asalnya, bibit tersebut sangat berhasil.
Namun, bukan hal mudah untuk membawa teknologi ke para petani di
Indonesia. Atin menyebut ada tantangan psikologis dan sosial yang harus
dihadapi. Hack a farm adalah upaya untuk terus mengatasi masalah itu
dengan membawa sebanyak mungkin anak mudah berkontribusi pada bidang
yang selama ini cukup mereka hindari, yaitu pertanian. Teknologi
diyakini menjadi jawaban untuk berbagai persoalan itu.
“Kami percaya bahwa anak-anak muda ini punya potensi untuk melakukan
sesuatu yang lebih terbuka dan lebih mudah menerima perubahan, dan sudut
pandang yang banyak. Kecenderungannya anak muda lebih fleksibel dan
dinamis dalam menghadapi tantangan. Hack of farm salah satu cara memacu
anak muda, yang belum konsen ke agrikultur, ditarik lagi ke akarnya.
Agrikultur ini perlu dikembangkan dan kami butuh mereka,” ujar Atin.
Pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki program nasional terkait ini
yang disebut sebagai Petani Milenial. Dalam keterangan resminya,
Kementerian Pertanian menyebut Indonesia menjadi salah satu proyek
rintisan dunia.
International Food Agriculture Development (IFAD)
sepakat memberikan bantuan bertahap untuk pengembangan petani milenial
senilai 50 juta dolar AS, hingga tiga tahun ke depan. Tugas pemerintah
adalah melakukan regenerasi petani, untuk menghadirkan generasi muda
petani yang produktif, melek teknologi dan modern.(VOA/MJ)
Post Top Ad


Home
Lingkungan
Media Jakarta
Media Jogja
Milenial
News
Nusantara
Petani
Tekno
Terkini
Ketika Milenial Membawa Teknologi Pada Petani
Ketika Milenial Membawa Teknologi Pada Petani
Editor
Oktober 04, 2019
Lingkungan,
Media Jakarta,
Media Jogja,
Milenial,
News,
Nusantara,
Petani,
Tekno,
Terkini,
Share This
Tags
# Lingkungan
# Media Jakarta
# Media Jogja
# Milenial
# News
# Nusantara
# Petani
# Tekno
# Terkini
Share This

About Editor
Terkini
Label:
Lingkungan,
Media Jakarta,
Media Jogja,
Milenial,
News,
Nusantara,
Petani,
Tekno,
Terkini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar