![]() |
Faisal M.Jasin. |
Oleh : Faisal M. Jasin*
Pada tanggal 26 Agustus 2019,
Presiden Jokowi mengumumkan secara resmi Ibu Kota Baru yaitu, di Kabupaten
Penajem Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur.
Kedua daerah itu paling ideal menurut
Presiden, berdasarkan hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
di bawah Pimpinan Bambang Brodjonegoro. Pemindahan
Ibu Kota dengan alasan utama beratnya beban Jakarta, yang dalam artian bahwa
daya tampung dan daya dukung lingkungan DKI Jakarta tidak mampu lagi.
Kajian Bappenas, memerlukan
lahan Ibu kota terbagi area inti seluas 2 ribu hektare.
Di sinilah lokasi istana negara, kantor lembaga negara, taman negara, dan botanical
garden. Dimana pembangunan area ini akan dilaksanakan selama lima
tahun.
Selanjutnya,
perluasan kawasan seluas 440 ribu hektare untuk permukiman ASN/TNI/Polri,
perwakilan diplomatik, fasilitas pendidikan/kesehatan, universitas, penelitian,
taman nasional, konservasi orangutan, kluster permukiman, dari mana lahanya
kalau bukan dari hutan negara.
Jika
di lihat luas kabupaten panajem paser utara 3.333,06
km2 dan Kabupaten Kutai Kartanegara 27.263,10 km², dari kedua luas daerah tersebut tentunya
sangat tersedia di kedua kabupaten terpilih.
Tidak banyak kajian yang diketahui oleh publik dan bahkan
tidak banyak publik yang dilibatkan dalam kajian penetapan Ibu Kota, akan
tetapi Presiden telah menetapkan dan tinggal menunggu Undang-undang Ibu Kota
Negara sebagai hasil konsesnsus politik di Parlemen.
Sebagai pegiat lingkungan, bertanya apakah Ibu
Kota terpilih telah memiliki KLHS (Kajian
Lingkungan Hidup Strategis) Daerah, yang dapat
menunjukan informasi mengenai a) kapasitas daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup untuk pembangunan; b) perkiraan mengenai dampak dan risiko
lingkungan hidup; c) kinerja layanan/jasa ekosistem; d) efisiensi pemanfaatan
sumber daya alam; e) tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap
perubahan iklim; dan f) tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Begitu juga dengan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah/sementara dikerjakan oleh Bappenas sebagai acuan dalam pengambilan
keputusan dan harusnya Presiden beserta DPR RI menunggu kajian dampak
lingkungan sebelum menetapkan lokasinya. Ironinya pemerintah lebih
dahulu menetapkan Ibu Kota Baru sebelum melakukan kajian lingkungan hidup
strategis, bagaimana jika dalam KLHS nya tidak mampu mengkonfirmasi dampak dan
resiko lingkungan, kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidupnya
memiliki keterbatasan. Apakah Pemerintah sepakat untuk mengkaji alternatif
lain? Inilah pentingnya daerah telah memiliki KLHS.
Beberapa catatan masalah
lingkungan di kedua daerah, sejak lima tahun terakhir sebagai langganan banjir,
terdapat lahan kritis bekas galian tambang batubara serta hamparan perkebunan kelapa sawit yang
beberapa diantaranya kerap mencemari lingkungan disekitar, di samping rutinitas
kebakaran hutan dan lahan.
Sementara
keanekaragaman hayatinya, ada ekosistem gambut yang
merupakan tipe ekosistem yang rentan, dan wajib dijaga dan menyimpan karbon serta berperan dalam
penentuan emisi karbon lima tahun terakhir yang
wajib dilakukan restorasi.
Dan setidaknya
ada delapan satwa langka kebanggaan Indonesia yang ada di Kalimantan Timur
yaitu Badak Sumatera, Orangutan Kalimantan, Rangkong,
Beruang Madu, Bekantan, Owa, Pesut Mahakam dan penyu yang
menunggu waktu kepunahan apalagi jika terjadi perubahan bentang alam tentunya
membutuhkan upaya perlindungan dan pengelolaan.
Selain masalah lingkungan, Masyarakat
Hukum Adat (MHA) sebagai ujung tombak dalam pelestarian lingkungan juga perlu
diperhatikan, oleh karena suku dayak yang merupakan penduduk asli Kalimantan
yang memiliki tradisi, budaya serta kearifan lokal di dalam kehidupan sosial
dan lingkungan, akan tergerus oleh dinamika sosial masyarakat pendatang yang
secara cepat dengan jumlah yang besar.
Dan masyarakat adat dengan
kearifannya melindungi wilayah dengan unsur tertentu, seperti “hutan larangan”
apakah masih bisa dipertahankan atau masyarakat terdesak dan pelan-pelan akan
hilang didalam peradaban bersama dinamika ibu Kota Baru. Walaupun kita semua pahami bahwa suku dayak
adalah masyarakat yang terbuka terhadap
pendatang.
Peneliti
Geoteknologi LIPI Danny Hilman Natawijaya menyebutkan bahwa potensi gempa yang paling tinggi di
pulau Kalimantan terletak di Kalimantan Timur, tepatnya di sebelah selatan
kota Samarinda, karena terdapat
patahan aktif dan sesar
adang-paternoster yang menimbulkan
kerawanan gempa dan tsunami, walaupun secara umum potensi gempa pulau Kalimantan relatif rendah dibanding
pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Indonesia
merupakan negara bencana, baik bencana alam maupun bencana lingkungan akibat
dari pembangunan yang destruktif, dan apakah dengan pindahnya ibu kota maka
masalah lingkungan akan hilang. Tentunya tidak.
Jika pemindahan Ibu Kota untuk menghindari bencana lingkungan, seperti
banjir, polusi udara, kemacetan yang sesungguhnya di Ibu Kota baru telah
memiliki masalah yang sama seperti banjir, polusi udara dan pencemaran
lingkungan dan masalahnya justru lebih besar dibanding Jakarta, apalagi jika
pembangunanya tidak terkontrol dan vegetasi hutan konservasi di buka.
Kedua daerah Ibu Kota baru terdapat
banyak bekas galian tambang dan lahan kritis bekas HGU yang telah di tinggalkan
maupun yang masih dalam penguasaan pengelola,
sebaiknya itu yang dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur maupun
pengembangannya agar tidak merubah bentang alam dan tetap terjaganya
keanekaragaman hayati.
Konsep forest city yang akan diterapkan akan lebih baik jika konsep itu di desain dibekas lahan yang telah
memiliki masalah lingkungan sehingga akan meningkatkan daya dukung lingkungan.
Artinya lingkungan alam tidak di buka akan tetapi melakukan pemulihan atau
restorasi lingkungan, atau biasa dikenal dengan lingkungan buatan pada lokasi
lahan kritis.
Oleh karena forest city akan membangun ruang terbuka hijau (RTH) minimal 50% dari luas ibu kota, pemanfaatan energi
terbarukan, desain bangunan hijau untuk efisiensi dan korservasi air dan energi begitu juga dengan transportasi publik berbasis rel seperti Moda Raya
Terpadu (MRT).
Walaupun di dalam pengembangannya tetap akan membuka
lahan baru akan tetapi tidak secara keseluruhan dari total yang dibutuhkan. Untuk
itu dalam dokumen kajian Ibu Kota harus teridentifikasi lahan-lahan kritis
bermasalah agar dapat dipulihkan kualitasnya sebagai bagian dari desain Ibu
Kota Baru.
Jika ini dilakukan tentunya
komitmen pemerintah yang akan memperbaiki kualitas lingkungan di Ibu Kota Baru
akan terjawab, jika tidak Ibu Kota Baru menanti bencana yang lebih besar.
*Penulis adalah Pengurus Majelis Lingkungan
Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Direktur Natural Resources and Environment
(NRE) Monitoring
Tidak ada komentar:
Posting Komentar