MANILA, MEDIAJAKARTA.COM- Di
tengah pertemuan tahunan Komisi Perikanan Pasifik Barat-Tengah (Western
and Central Pacific Fisheries Commission-WCPFC) ke-14 di Manila,
Greenpeace mendesak lembaga pengelolaan regional tersebut harus
menyepakati aturan konservasi dan pengelolaan yang bisa memastikan
pulihnya populasi ikan tuna yang selama ini dieksploitasi.
Aturan Tuna Tropis (Tropical Tuna
Measure-TTM) yang berlaku saat ini akan segera berakhir dan akan
direnegosiasikan di ajang WCPFC ini. Greenpeace menyatakan hal-hal yang
harus disepakati antara lain: kapal-kapal jaring (purseiner)
harus menyepakati pengurangan besar-besaran jumlah rumpon (Fish
Aggregating Devices-FADs), serta aturan ketat untuk pelaporan dan
transparansi penggunaan rumpon; pengawasan dan kontrol yang lebih ketat
terhadap kapal longliner; penerapan target stok, titik batas eksploitasi dan pengelolaan strategis.
“Meski komitmen saat ini sudah tepat
arahnya dan beberapa pelaku industri sudah mengambil inisiatif dalam
mengatasi penangkapan berlebih, penangkapan ikan ilegal dan perbudakan
di laut, WCPFC tetap bertanggung jawab untuk memastikan bahwa perubahan
positif bagi laut bisa terjadi dengan menyepakati aturan-aturan yang
lebih kuat,” tegas Arifsyah Nasution, Jurukampanye Laut Greenpeace
Indonesia yang hadir di pertemuan ini.
“Ini bisa terwujud dengan menyepakati
aturan-aturan penting mengenai pengumpulan data, manajemen kapasitas
penangkapan ikan termasuk rumpon, stok ikan, metode MCS (Monitoring,
Control and Surveillance) termasuk transshipment (alih muat di tengah laut), serta pengendalian panen (eksploitasi).”
Berbagai laporan Greenpeace telah
mengungkap pelanggaran Hak Asasi Manusia terjadi di bidang yang dikelola
oleh WCPFC ini. Meski tidak secara spesifik berbicara tentang hak
asasi manusia, pelarangan transshipment dan pengawasan yang kuat akan bermanfaat dalam mengatasi masalah ini.
Sebanyak 4.509 kapal teregistrasi dalam WCPFC di mana 64% nya adalah longliner, 12% adalah kapal jaring dan hanya 2,22% adalah kapal huhate (pole and line).
Enam negara terbesar mencakup 85% kapal adalah Taiwan (China Taipei),
Jepang, China, Filipina, Amerika Serikat, dan Korea Selatan.
“Dalam pertemuan di Manila ini semua pihak
harus membuktikan kesungguhan dalam menyelamatkan stok ikan tuna dan
jangan lagi terjadi aliansi industri - pemerintah yang berusaha untuk
menggagalkan aturan perlindungan tuna yang kuat,” pungkas Arifsyah. (MJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar